Kamis, 30 April 2009

NALURI MELARIKAN DIRI DEMI KEBERUNTUNGAN



NALURI MELARIKAN DIRI DEMI KEBERUNTUNGAN

Samar-samar terbayang olehku pada massa kecil yang kerap kali tidak mengikuti perintah orang tua. Rasa penyeselan baru dirasakan di saat kita merasa jauh dari kedua orang tua. Bajawa tampak dalam kenanganku, sebuah bangunan kumuh. Barangkali lantainya tanah dengan bangku-bangkunya tanpa sandaran. Aku masih ingat pada sosok seorang anak muda yang menjadi guru Sekolah dasar. Rasanya di sekolah itulah terjadi pertemuan antara ide tentang kemasyarakatan politik social dan budaya yang ingin ditanamkan oleh guru dalam jiwa seorang anak kecil sepertiku dan informasi yang diperoleh dari guru itu tentang betapa susahnya manusia bila tidakj bisa mengatur dirinya sendiri.

Kota Bajawa di masa kecilku terdiri dari sebuah tangsi polisi, sebuah rumahsakit, sebuah Sekolah Rakyat, sebuah Gereja Katolik yang indah dan besar sekaligus rumah-rumah untuk pastor dan suster dan beberapa rumah pembesar pemerintah serta beberapa toko milik orang Tionghoa dan sebuah pasar terbuka (lapangan). Lapangan rumputnya hijau subur terpotong rapi, mungkin oleh orang-orang strapan (narapidana).
Orang selalu memanggil aku no. Ini adalah nama panggilan kesayangan bagi orang bajawa. Setiap anak yang sangat disayangi dipanggil no untuk lelaki weta untuk perempuan.

Di tahun baru dan hari ulang tahun kab ngada, orang di kota kecil itu berpesta membakar mercon. Kenikmatan bakar mercon terasa juga tetapi kenikmatan ini sirna karena berita ada anak meniggal karena kaget akan bunyi letusan mercon. Oleh karena itu aku sangat takut pada bunyi dan semprotan mercon. Naluri menyelamatkan diri lebih besar daripada naluri menantang bahaya api dan ledakan. Begitulah, pada hari raya natal, ada anak polisi membakar mercon besar di lapangan segitiga di luar tangsi di samping menara air.

Melihat mercon itu ditutupi sebuah kaleng susu, naluriku menyuruh aku berlari menjauhi ledakan yang tentu akan besar sekali.
Dari kejauhan yang aman, aku melihat dengan aman pula kaleng susu itu mental cukup tinggi ke udara. Setelah dewasa kalau dikenang kembali, aku geli sendiri mengenang ketakutan yang demikian, ketakutan lihat langit terbelah dan ketakutan pada ledakan mercon besar. Naluri melarikan diri dari bahaya di masa kecil, tampaknya bayangan itu selalu ku kenang.

Di masa kecil, tidak ada akibat apa tetapi di masa dewasa naluri melarikan diri membuat aku menemui serba kesulitan dan kelucuan hidup. Penuh dengan tragedi dan komik. Misalnya ketika aku melanjutkan pendidikan di kota malang propinsi jawa timur dengan penuh rasa sedih aku harus meniggalkan kota bajawa, menempati sementara kota malang demi sebuah cita-cita.kehidupanku paada awalnya di kota malang sangatlah bahagia karena mempunyai sebuah kehidupan yang baru dimana pengaturan pada diri sendiri mulai tampak pada diriku.

Mengatur diri sendiri ternyata cukup sulit juga apalagi mengatur ekonomi kehidupan anak kos.kiriman uang dari norang tua sangatlah pas-passan sehingga membuat aku lebih hemat dibandingkan saat massa kecil dimana pikaran aku hanyalah senang sja yang tidak memikirkan bagaimana susahnya mencari makan, tetapi padasaat sekarang aku sudah merasakan betapa susahnya mencari makan.

Meskipun dengan begitu susah aku mengatur ekonomiku tetapi aku selalu berusaha untuk tetaap maju dalam menempuh cita-citaku yakni ingin menjadi seorang wartawan yang bisa memberikan informasi kepada orang lain,terutama kepada masyarakat dikab ngada tercinta yang selama ini masi kurang akan informasi terutama berita tentang dunia dan perkembangannya hal ini mungkin bisa memajukan masyarakat yang masi terikat kuat oleh budaya.(pierngoe@yahoo.com)