Senin, 25 Mei 2009

.....................???????????????...................................






ARTI CINTA DAN PERPISAHAN.........

Hubungan antara kau dan aku merupakan hal paling indah dalam hidupku,sesuatu yang paling mengesankan yang pernah kuketahui dalam hidup dan akan selalu aku kenang,Pasangan jiwaku,aku bisa memikirkan hal yang sama denganmu.ketika bersamamu aku bisa bekerja.dan sekali lagi,kupikir "aku bisa gila tanpa dirimu sekarang" kekasih jiwaku,engkau adalah sebuah menara kekuatan. aku harus mandi dalam kobaran api,namun aku merasa sangat terlindungi dan terjaga.aku tahu bahwa aku adalah kekasihmu,dan bahwa aku memuja cinta.kemiskinan dan kerja keras yang didampingi cinta,jauh lebih baik daripada kekayaan tanpa cinta.Kekasihku,kapanpun kucoba untuk mendekatimu lewat ucapan,sebagai pribadi yang utuh.tetapi engkau selalu menjauh dariku dan sulit untuk kugapai.tetapi apapun aku senang bersamamu,tiada pidana yang lebih berat daripada yang dijalani seorang wanita yang mendapati dirinya terperangkap antara seorang pria yang dicintainya dan seorang pria yang mencintainya,cinta adalah sebuah misteri suci.bagi mereka yang mencinta,ini mengingatkan selamanya tanpa kata_kata;namun bagi mereka yang tidak mencinta,ini tidak lain hanyalah lelucon tanpa hati,cinta yang terhina dalam ketelanjangan,lebih bermakna daripada cinta yang mencari kemenangan dalam penyamaran,Manusia tidak dapat menuai cinta sampai dia merasakan perpisahan yang menyedihkan dan yang mampu membuka pikiranya,merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang pedih Rasa cinta adalah hiburan yang kala malam mendengdangkan lagu_lagu kebahagiaan,membangunkanku di kala fajar,untuk mengungkap makna hidup.Cinta yang dianugrahkan oleh Tuhan dan terbebas dari rasa dengki karna harta,tak pernah menyakiti raga karena ia ada dalam jiwa ia adalah pertaliaan kokoh yang mengisi jiwa dengan karunia. kelembutan hati yang menciptakan harapan tanpa membingungkan jiwa.Keolokan yang mengubah bumi menjadi surga dan mengubah kehidupan ini menjadi mimpi impian dan cinta akan saling memberi satu dengan yang lain,serupa dengan apa yang; dilakukan matahari ketika mendekati malam,dan yang dilakukan bulan ketika mendekati pagi,ketika dua orang saling mencinta,mereka harus seperti bunga teratai;masing-masing membuka kelopaknya satu demi satu,menunjukan hati emasnya tidak erat tertutup,agar membias di kolam,pohon-pohon dan langit.Aku adalah ombak.aku dan pantai adalah sepasang kekasih.angin menyatukan dan memisahkan kami.aku datang dari atas temaram untuk menggabungkan perak buihku dengan emas pasirnya;dan kesejukan jiwanya yang membara dengan kelembabanku.menjelang fajar,kubacakan dalil gairah buat kekasihku,dan ia menarikku kedadanya.disenja hari kunyanyikan doa kerinduan,dan ia memelukku,hanya dengan cinta yang indah,kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan,pahitnya kesedihan dan duka perpisahan.aku tidak punya pilihan lain kecuali berjuang setiap hari sampai kutemukan harta yang layak kuserahkanpadamu,harta untuk membantu kita dalam mengarungi perjalanan hidup kita.kesedihan adalah aku,karena menatap malam telah membuatku sia-sia.tetapi aku seorang pencinta,dan aroma cinta adalah kesadaran cinta berlalu didepan kita,terbalut dalam kerendahan hati;tetapi kita lari darinya dalam ketakutan,atau sembunyi di dalam kegelapan,untuk berbuat jahat atas namanya,cinta itu pengetahuan surgawi yang menyalakan mata kita dan menunjukan kita segala sesuatu seperti para dewa melihatnya,aku adalah hari kemarinmu,dan dikau adalah hari esokku.aku adalah akarmu dibumi,dan kau adalah bungaku di langit,dan bersama-sama kita tumbuh di depan wajah matahari tapi ketika jiwa seseorang akan menetap dalam wilayah pikiran-pikiran yang bergerak,dia akan kehilangan kekuatan kata-kata.Tetapi aku masih akan mengatakan kepadamu sepanjang waktu kekasihku.dan aku akan selalu tahu yang kau ketahui sehingga kita akan berjalan dan bercakap-cakap bersama.karna aku adalah tarikan nafas lautan aku adalah airmata langit.aku adalah senyuman bumi.begitu juga cinta adalah tarikan nafas dari lautan perasaan,airmata langit,dan senyuman dari bumi jiwa oh,pasangan jiwaku jangan takut kepada cinta;kawan hatiku.kita harus menyerah kepada cinta meskipun yang ia bawa berupa rasa pedih,rasa tersingkir,rasa rindu,dan meskipun banyak keheranan dan kebingungan yang dibawanya rasa cintaku padamu,wahai kekasih,akan tetap ada hingga akhir hidupku,dan setelah mati tangan Tuhan akan mempersatukan kita kembali,aku adalah pohon yang tumbuh di keteduhan,dan kini aku menjulurkan dahan-dahanku meraih getar cahaya hari.aku datang untuk mengucapkan selamat tinggal padamu,kekasihku,dan harapanku semonga perpisahan kita akan seagung dan seindah cinta kita.biarlah perpisahan kita menjadi seperti api yang melebur batangan emas,dan membuatnya menjadi lebih berharga keabadiaan tak menyimpan apa-apa kecuali Cinta,karena cinta adalah keabadian itu sendiriPerpisahan ini mengajari aku
betapa berharganya sebuah kerinduan,
kerinduan yang menggebu-gebu
dan menggoncang seluruh
hati dan pikiranku telah banyak yang kupelajari darimu
cara melawan pedihnya hidup disaat terkurung dalam kesendirian hati dan berusaha keluar dari keruhnya pikiran..engkaulah awal dari semua kekuatan ini dan engkaulah jalan itu, jalan dimana aku tersesat dalam gumpalan kabut dan gelapnya malam
tenangkanlah jiwamu disana, karena sedikitpun aku tak akan pernah mengusik mimpi indahmu yang telah kau ciptakan jauh sebelum aku mengenalmu
terimakasih kau telah mengajari semuanya tentang arti kesedihan dan juga kebahagiaan yang akan ku terima kelak.............


......................................for u my frend T.PIER...........................
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""

Kamis, 21 Mei 2009

KABUPATEN NGADA, FLORES NTT



KABUPATEN NGADA, FLORES NTT
.1. Letak Geografis
Kabupaten Ngadha merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak diantara 8°-9° lintang Selatan dan 120° 45° - 121° 50° bujur Timur.bagian utara berbatasan dengan Laut Flores, Bagian selatan berbatasan dengan Laut Sawu, bagian Timur dengan Kabupaten Nagekeo dan bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Manggarai.
Menurut persebaran Budaya Ngadha pada 5 (lima) kecamatan yang ada di Kabupaten Ngadha yakni Kecamatan Bajawa, Kecamatan Golewa, Kecamatan Bajawa Utara, kecamatan Jerebuu dan Kecamatan Aimere dengan batas persebarannya yaitu:
Utara dengan daerah persebaran Budaya Riung dan Budaya Soa
Selatan dengan Laut Sawu
Timur dengan persebaran Budaya Nagekeo pada Kabuapaten Nagekeo
Barat dengan persebaran Budaya Manggarai
.2. Topografi
Keadaan topografi persebaran Budaya Ngadha pada umumnya berada pada bagian selatan Kabupaten Ngada Secara garis besar persebaran Budaya Ngadha berada pada dataran rendah yang curam dengan kemiringan rata-rata 0-60% menurun dari arah Utara Ke selatan dan Timur ke Barat.
.3. Iklim
Pada persebaran Budaya Ngadha tergolong beriklim tropis dan sebagian besarnya terdiri dari padang rumput. Pada areal hutan yang ada ditumbuhi pepohonan seperti kemiri, asam, kayu manis, lontar dan lain sebagainya.
Keadaan iklim pada teritorial Budaya Ngadha menurut Schmidt dan Ferguson adalah iklim tipe E, yaitu dengan enam bulan basah dari November sampai April, dan enam bulan kering dari bulan Mei sampai Oktober. Berdasarkan catatan stasiun pengamat daerah ini, diketahui volume curah hujan rata-rata 169,27 mm per tahun. Temperatur uadaranya bervariasi mengikuti keadaan morphologi yaitu di dataran tinggi rata-rata lebih rendah, dan di dataran rendah rata-rata lebih tinggi.
.4. Jumlah Penduduk
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2008, penduduk Kabupaten Ngada berjumlah 251,792 jiwa dengan rincian laki-laki : 121.821 jiwa dan perempuan 129.971 jiwa yang terdiri dari 51.323 KK, sedangkan jumlah penduduk pada persebaran Budaya Ngadha terdiri dari 19.391 KK. Berikut ini diagram jumlah penduduk di Kabupaten Ngada.

Sumber Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ngada
Gambar 02
Diagram Jumlah Penduduk




Arti Nama Ngadha
Beberapa nara sumber kebudayaan Ngadha menyebutkan Ngadha berasal dari kata Magadha yaitu nama sebuah tempat di India yang memiliki kemiripan penerapan tatanan kehidupan yang hampir sama dengan orang Ngadha di Pulau Flores (Ota Roja).
Meskipun penuturan beberapa nara sumber di atas tidak dapat dibuktikan dengan pasti namun Ngadha adalah nama salah satu Woe (suku) yang ada dalam rumpun budaya Reba (budaya Ngadha/budaya Ngadhu-Bhaga). Suku-suku dalam kebudayan Ngadha mendiami daerah-daerah pada 5 (lima) kecamatan di seputar gunung Inerie. 5 (lima) kecamatan yang menjadi teritorial persebaran budaya Ngadha adalah kecamatan Bajawa Utara, kecamatan Jerebuu, kecamatan Golewa dan kecamatan Aimere.
Persebaran Woe Ngadha dan pengaruhnya menjadi salah satu yang berpengaruh besar pada penyebutan idenatitas budaya antara kalangan rumpun budaya Reba/budaya Ngadhu-Bhaga. Woe-woe (suku-suku) yang tergolongan dalam nama Woe Ngadha diantaranya adalah Woe Ngadha di kampung Bajawa, Woe Ngadha (Ebu Kodo dan Ebu Lodo) di kampung Watujaji (Ngadha Mana) dan Woe Ngadha yang ada di kampung Bokua, Kecamatan Bajawa, Woe Ngadha (Ago Ngadha) di kampung Bena, Kecamatan Jerebuu, woe dan woe Ngadha yang ada di kampung Belarghi, Kecamatan Aimere.
Berpijak dari pengaruh dan persebaranWoe Ngadha di atas maka banyak kalangan dan nara sumber serta beberapa literatur yang telah ada menyebutkn identitas budaya bagi rumpun penganut budaya Reba/budaya Ngadhu-Bhaga sebagai Budaya Ngadha. Nama dan identitas ini telah menjadi penyebutan yang lazim bagi penganut budaya Reba yang terdiri dari berbagai woe dengan masing-masing nama.
Menurut salah satu nara sumber budaya Ngadha Yosep Tua Demu: Ngadha/Ngada berarti memandang atau melihat ke atas secara tegak lurus, seperti yang terungkap dalam ungkapan orang Ngadha yakni Ngada Zi’a ghe’e ulu Zeta pe’e Pengi nee liko digho yang berarti menengadakan muka ke atas baru merunduk dan melihat sekitarnya di bawah. Secara harafiah ungkapan ini berisikan falsafah atau ajakan prinsip hidup untuk masyarakat budaya Ngadha. Ungkapan ini berarti bahw Ngadha adalah memandang ke atas yang berpengertian meminta inspirasi dari Yang Di atas (Dewa Zeta), setelah mendapatkan inspirasi baru merunduk untuk berbuat terhadap apa yang dipandang pada lingkungan sekitarnya. Dengan demikian Ngada adalah permohonan atau do’a kepada ujud yang tertinggi untuk mendapatkan sumber pemahaman yang baik dan rahmat yang baik untuk bekerja dan membangun dunia di sekitar kita.
Ngadha dihubungkan dengan kegiatan orang budaya Ngadha di saat mengunjukan sesaji, khususnya dalam berbagai upacara adat biasanya orang mengucapkan doa adat dengan menengadahkan muka ke atas seraya mengucapkan doa guna memohon perkabulan ujud tertentu.
Menurut Nikolaus Nono Wara menuturkan bahwa Ngdaha terdiri dari dua suku kata yakni Nga dan Dha; Ngha berarti memandang, menjenguk, membesuk, melihat, memeriksa, mengoreksi, mengawasi, menoleh, mengundang, mengajak dan mencari; sedangkan Dha berarti kebawa secara berurutan. Menurut beliau, Ngadha berrati sangat luas yakni pandangan yang bersumber dari Ketuhanan (Dewa) dengan mengutamakan rasa persaudaraan yang harus diaktualisasikan dengan saling memandang, menjenguk, membesuk, melihat, memeriksa, mengoreksi, mengawasi, menoleh, mengundang, mengajak dan saling mencari hal-hal positif guna memupuk kebersamaan dalam suasana kekeluargaan dan kekerabatan guna berpikir, merencanakan dan berbuat sesuatu mulai dari hal besar sampai hal kecil.





Asal - muasal Orang Ngadha sampai ke Pulau Flores
Dalam menelusuri sejarah asal muasal orang Ngadha, perlu dicermati makna dari pada Su’i Uwi yang biasa dilaksanakan pada setiap woe (suku) di seluruh sebaran rumpun budaya Ngadha. Dari Su’i Uwi itu sendiri menggambarkan bahwa orang Ngadha yang sekarang menghuni daerah diseputaran gunung Inerie bukan penduduk asli Flores (Ota Roja). Mereka adalah hasil dari proses kemigrasian yang telah dilakukan oleh para leluhurnya menuju Flores yang telah dilakukan selama berabad-abad (”na na peti fa’o da na leghe lapi”). Dikatakan dalam Su’i Uwi bahwa asal leluhur sebenarnya berasal dari suatu tempat yang sangat jauh dan sudah tidak diketahui namanya dengan pasti (pu’u zili Giu Pu’u Gema). Namun dari berbagai prediksi dan perkiraan yang didapat dari berbagi nara sumber asal leluhur orang Ngadha adalah India. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat secara langsung dalam penerapan tatanan kehidupan orang Ngadha yang memiliki kemiripan dengan peradapan Hindu Kuno. Kemiripan ini dapat disaksikan secara langsung pada keseharian masyarakat yang masih mempertahankan kasta dan ukiran yang mirip dengan huruf dan relief India. Dalam Su’i Uwi juga menjelaskan bahwa leluhur orang Ngadha juga merupakan para pelaut yang cukup tangguh sehingga dalam proses migrasi mereka selalu menggunakan perahu dari satu pulau ke pulau lain. Dari proses migrasi yang digambarkan di dalam Su’i dapat ditangkap dengan jelas tempat-tempat persinggahan sampai pada tempat akhir di Pulau Flores (Ota Roja). Daerah yang bersangkutan adalah India (pu’u Zili Giu pu’u Zili Tana India) sebagai tempat asal, Zealand (Selo One), Cina, Malaka (se’a gha Maza Tana Malaka), Jawa, Sumbawa (Raba), Sumba (Wio) dan sampai pada pendaratan di Ota Roja (Pulau Flores).
Su’i Uwi adalah ajaran pokok yang juga adalah pilar dari semua ajaran pokok dalam kehidupan masyarakat budaya Ngadha/rumpun penganut budaya Reba (budaya Ngadhu-Bhaga). Hal ini dikarenakan fungsi dan peranan daripada Su’i Uwi itu sendiri sangat mendasar dalam pengimplementasiannya pada kehidupan masyarakat Ngadha. Su’i Uwi merupakan kegiatan paling inti dalam melaksanakan ritus Reba yang merupakan upacara tahun baru tradisional masyarakat Ngadha yang biasa dilaksanakan pada malam terakhir atau yang dikenal dengan sebutan Kobe Dhoro.
Dalam Su’i Uwi terdapat banyak hal yang menjadi pilar kehidupan masyarakat Ngadha yang diantaranya adalah ajaran pokok, kepercayaan dan yang paling penting adalah tempat asal muasal orang Ngadha serta tempat-tempat singgahan dalam kemigrasian, asal muasal dari pada gadis yang diperistri pada masa lampau yang nantinya bercikal bakal terbentuknya bagi suku (woe). Berikut adalah Su’i Uwi yang disajikan satu persatu :

Dalam Bahasa Ngadha
Dalam Bahasa Indonesia dan Penjelasan
1.
Su’i O.........wi, Su’i O........wi
1.
Inilah ajaran pokok kehidupan
Sebagai awal dari kalimat ajakan pembuka untuk menyimak ajaran yang akan disampaikan.
2.
Pu’u zili giu pu’u zili gema zili tana India Su’i O......wi
2.
Dari tempat yang jauh dan tidak terdapat titik terangnya di tanah India itulah ajarn pokok kehidupan.
Asal muasal leluhur yang memulai kemigrasian bermula dari suatu tempat di Tanah India
3.
Zili Meko da tere tolo dara masa sa ulu roro Su’i O.....wi
3.
Terdapat adanya sumber terang yang memberi sinar inspirasi bagi kehidupan manusia.
Butir ini menunjukan permulaan daripada terang inspirasi bagi kehidupan manusia dan lingkungan
4.
Zili Sebhe Gha Selo One Su’i O......wi
4.
Telah singgah di Zealand
Dari India berpindah ke Zealand
5.
Da Jo jo dia, Da Jo jo Dheso Su’i O…..wi
5.
Semakin berpindah kemari tujuannya itulah ajaran kehidupan
Perpindahan yang dilakukan tidak serempak dan cepat namun bergeser perlahan yang disebabkan oleh faktor alam dan lainnya.
6.
Zili da nga gha Sina One Su’i O…..wi
6.
Telah sampai ke daerah pedalaman china




Diperkirakan pada masa itu para leluhur berjalan di atas es sampai kepada daerah pedalaman Cina
7.
Da lete wai go Koba Leke da daro wai go kawikao Su’i O....wi
7.
Dengan menerobos hutan belantara
Mereka telah menjelajah hutan dan masuk kepedalaman sampai pada pantai Cina Selatan
8.
Da jo jo dia,Da Jo jo Dheso Su’i O.....wi
8.
Semakin berpindah kemari tujuannya itulah ajarn kehidupan.
Perpindahan yang terus terjadi dari hari ke hari. Perpindahan tersebut dikarenakan persediaan makanan dan kegiatan berburu serta meramu
9.
Zili da pita gha nee bu’e Sina Su’i O...wi
9.
Juga telah mempersunting gadis Cina
Digambarkan bahwa salah seorang dari para leluhur mempersunting gadis Cina.
10.
Zili toni gha ne’e Uwi Su’i O......wi
10.
Mereka sudah mulai menanam Ubi
Mereka mulai mengenal cara bercocok tanam dengan mulai menanam Ubi
11.
Da na, na peti fao da na, na lehge
11.
Berhenti sementara dan beranak pinak
Dalam perkiraan mereka tiba dan mendiami daerah pantai Cina Selatan dan membentuk komunitas di sana.
12.
Zili da pako gha ne’e rajo Su’i O...wi lapi Su’i O.....wi
12.
Di tempat itu mereka mulai membangun perahu
Pada zaman dimana mereka membuat perahu diperkirakan pada saat berakhirnya zaman es.
13.
Zili da Wake gha ne’e Mangu Su’i O....wi
13.
Disana telah ditegakkan tiang tengah pada perahu
Mereka mulai mendirikan tiang perahu.
14.
Zili da Webha gha Laja Su’i O....wi
14.
Telah membentang layar
Mereka memasang dan membentangkan layar
15.
Zili do seda gha tuku Su’i O.....wi
15.
Telah dirangkulkan pendayung untuk mendayung perahu.
Mereka mulai memasuki perahu dan mulai berlayar dengan medayung perahu.
16.
Zili da kesogha Uli Su’i O....wi
16.
Disana telah putar haluan kemudi
Dengan memutar kemudi arah bintang di langit.
17.
Zili da Tange Dala Su’i O....wi
17.
Mengikuti petunjuk arah bintang
Merekapun mengikuti arah bintang di langit.
18.
Zili Mesi mite zili Laja nga rie-rie Su’i O....wi
18.
Disana telah berada di tengah lautan dengan layar yang mengembang
Dalam pelayaran yang dilakukan, merekapun dibantu kekuatan angin untuk melajukan perahu
19.
Da Jo jo dia, Da Jo jo Dheso Su’i O....wi
19.
Semakin berpindah kemari tujuannya
Pelayaran makin ke arah Selatan dan semakin mendekat
20.
Zili da nga dara tana maza, Tana Malaka S21.u’i O....wi
20.
Telah mendarat di daratan, di Tanah Malaka
Mereka mendaratkan perahu di daratan Pantai Malaka.
21.
Da na, na peti fao da na, na leghe lapi Su’i O....wi
21
Berhenti sementara dan beranak pinak
Di tempat yang didarati, mereka berhenti dan beranak pinak.
22.
Zili da tewa wali gha laja Su’i O....wi
22.
Dibentangkannya kembali layar
Mereka kembali ke perahu dan membentangkan kembali layar.
23.
Zili da seda gha wali tuku Su’i O....wi
23.
Disana dikayuhnya kembali pendayung
Mereka mendayung kembali untuk melanjutkan pelayaran
24.
Zili wali ggo ga mesi mite Su’i O....wi
24.
Disana telah berada kembali di tengah lautan
Merekapun berada kembali ke tengah laut
25.
Da Jo jo dia, Da Jo jo Dheso Su’i O....wi
25.
Semain berpindah kemari tujuannya itulah ajaran pokok kehidupan
Semakin kemari kearah yang dituju
26.
Zili da nga gha dara Tana Jawa Su’i O....wi
26.
Disana telah terpandang daratan Tanah Jawa
Mereka telah melihat Tanah Jawa
27.
Zili da kolu gha watu Su’i O....wi
27.
Disana telah diturunkannya jangkar
Mereka merapat ke tepi pantai dan menurunkan jangkar
28.
Zili da pole gha laja Su’i O....wi
28.
Disana digulungkannya kembali layar
Mereka menggulungkannya layar
29.
Da na, na peti fao da na, na leghe lapi Su’i O....wi
29.
Berhenti sementara dan beranak pinak
Mereka berhenti dan beranak pinak
30.
Zili Dasili gha wini Zili da ghale gha ne’e Ngawo Su’i O....wi
30.
Disana telah bercocok tanam
Merekapun mulai mengenal berbagai jenis makanan dan benih untuk bercocok tanam sebagai sumber makanan baru
31.
Zili da maga gha nee Bu’e Jawa Su’i O....wi
31.
Disana telah mengawini Gadis Jawa
Beberapa dari merekapun mengawini gadis-gadis Jawa
32.
Zili da teki gha wali watu Su’i O....wi
32.
Disana telah diangkatnya kembali jangkar
Merekapun kembali ke perahu dan mengangkat jangkar untuk melanjutkan pelayaran
33.
Zili da webha gha wali laja Su’i O....wi
33.
Disana dibentangkannya kembali layar
Mereka membentangkan kembali layar


34.
Zili da seda gha wali tuku Su’i O....wi
34.
Disana dikayuhnya kembali pendayung
Mereka melanjutkan pelayaran dengan mendayung perahu
35.
Zili wali gha go mesi mite Su’i O....wi
35.
Telah berada kembali di tengah lautan
Merekapun sudah berada kembali di tengah laut
36.
Da Jo jo dia, Da Jo jo Dheso Su’i O....wi
36.
Semakin berpindah kemari tujuannya itulah ajaran kehidupan
Pelayaran mereka semakin dekat dengan tempat tujuan
37.
Zili nga gha wali dara zili Tana Raba Su’i O....wi
37.
Disana sudah terlihat daratan Raba (Sumbawa)
Merekapun melihat daratan Sumbawa
38.
Zili da kolu gha watu Su’i O....wi
38.
Disana telah diturunkan jangkar
Mereka mendarat dan menurunkan jangkar di tepian pantai Sumbawa
39.
Zili da pole gha laja Su’i O....wi
39
Disana digulungkannya kembali layar
Mereka kembali menggulung layar
40.
Da na na peti fao da na, na leghe lapi Su’i O....wi
40.
Berhenti semnetara dan beranak pinak
Mereka kembali berhenti dan beranak pinak di tempat itu.
41.
Zili da pase gha ne’e pare Su’i O....wi
41.
Disana telah ditanamnya bibit padi
Mereka mulai menanam padi
42.
Zili da maga gha nee Bu’e Raba Su’i O....wi
42.
Disana telah mengawini Gadis Raba (Sumbawa)
Beberapa diantara mereka mempersunting gadis - gadis Sumbawa
43.
Zili da teki gha wali watu Su’i O....wi
43.
Disana telah diangkatnya kembali jangkar
Mereka kembali ke perahu dan mengangkat jangkar
44.
Zili da webha gha wali laja
44.
Disana dibentangkannya kembali layar
Mereka membentangkan kembali layar
45.
Zili da seda gha wali tuku Su’i O....wi
45.
Disana dikayuhnya kembali pendayung
Mereka mendayung kembali perahu guna melanjutkan perahu
46.
Zili wali gha go mesi mite Su’i O....wi
46.
Disana telah berada kembali di tengah lautan
Lagi-lagi mereka berada di tengah lautan
47.
Lau nga gha wali dara zili Tana Wio
47.
Disana sudah terlihat daratan Wio (Sumba)
Merekapun melihat daratan Pulau Sumba
48.
Lau da kolu gha watu Su’i O....wi
48.
Disana telah diturunkannya jangkar
Mereka merapat ke pantai dan menurunkan jangkar untuk berlabuh.
49.
Lau da pole gha laja Su’i O....wi
49.
Disana digulungkannya kembali layar
Layar pada perahu merekapun digulung kembali
50.
Da na, na peti fao da na, na leghe lapi Su’i O....wi
50.
Berhenti sementara dan beranak pinak
Kembali mereka berhenti dan beranak pinak
51.
Lu da wito gha nee Bu’e Wio Su’i O....wi
51.
Disana telah mengawini Gadis Wio (Sumba)
Beberapa dari merekapun mengawini gadis-gadis Sumba
52.
Lau da webha gha wali laja
52.
Disana dibentangkannya kembali layar
Mereka kembali membentangkan kembali layar
53.
Lau da seda gha wali tuku Su’i O....wi
53.
Disana dikayuhnya kembali pendayung
Mulailah mereka berlayar dengan mendayung perahu
54.
Lau wali gha go mesi mite zili laja nga rie-rie Su’i O....wi
54.
Disana telah berada kembali di tengah lautan
Merekapun telah berada di tengah laut
55.
Lau da toja gha nuka di Roja Su’i O....wi
55.
Disana sudah berangkat menuju Roja (Flores)
Perahu yang ditumpanginya diarahkan menuju Pulau Flores
56.
Da jo jo dia, da jo jo dheso Su’i O....wi
56.
Semakin berpindah kemari tujuannya itulah ajaran kehidupan
Pelayaran telah dilakukan semakin mendekat ke tempat tujuan.
57.
Lau sei lau mai Su’i O....wi Su’i O....wi
57.
Siapakah gerangan yang ada di sana
Sebuah pertanyaan untuk mengetahui para leluhur yang melakukan pelayaran
58.
Lau Oba ne’e Nanga da se wae bata da meri Anakoda Su’i O....wi
58.
Disa Oba dan Nanga yang mengarungi lautan
Dari rombongan perahu yang ada terdapat pemimpin pelayaran yang namanya adalah Oba dan Nanga
59.
Lau da nga ghadara Tana Roja Su’i O....wi
59.
Di sana telah dilihatnya daratan Ota Roja (Pulau Flores)
Merekapun telah melihat dari kejauhan daratan Pulau Flores
60.
Lau da kolu gha watu Su’i O....wi
60.
Disana telah diturunkan jangkar
Mereka merapatkan perahu ke daratan dan menurunkan jangkar untuk mendarat
61.
Lau da pole gha laja Su’i O....wi
61.
Di sana digulungkannya kembai layer
Mereka menggulungkan layar
62.
Dia gha Wae Meze, Su’i O....wi
62.
Sudah berada di muara Wae Meze (sekarang muara kali Wae Mokel)
Adapun tempat yang didarati pertama kali adalah pada muara Wae Mokel
63.
Dia Tiwu da lima latu sa bhege da bheo pau, Su’i O....wi
63.
Sudah berada pada suatu tempat yang penuh dengan air yang jernih
Mereka melihat tempat tersebut merupakan tempat yang dituju dimana tampak air yang jernih dan berbagai binatang serta tampak daratan yang subur untuk menetap
64.
Dia da Nga Bata Neno wae, Su’i O....wi
64.
Sudah tiba pada suatu tepian
Mereka turun dan melihat berbagai keadaan yang menjanjikan kemakmuran
65.
Viki ba nono dhiri Lina ba pia kisa Su’i O....wi
65.
Kumpulan yangmengutamakan kemurnian dan kebenaran
Sebuah tempat yang mengarah pada suatu kebenaran yang diyakini
66.
Di da sao-sao ba mara talo Naku nuka ba mara ngaru, Su’i O....wi
66.
Suatu tempat yang berkelimpah-an makanan dan tiada akan habisnya walupun diambil terus menerus
Tempat yang diyakini dalam petunjuk dengan berbagai kelimpahan makanan yang tiada berkesudahan
67.
Dia da pale ne’e zala Pale da toke ne’e Zala sede, Su’i O....wi
67.
Berpencar menyusuri pantai dan menyusup ke dalam hutan serta pengunungan
Seiringan dengan lamanya waktu merekapun berpencar sesuai dengan persebarannya.
68.
Salapa sa lazi nee maghi Padhi teda ne’e peda mera, Su’i O....wi
68.
Dan mulai membagi daratan dengan batas menurut teritorial sukunya yang berkembang.
Mereka mulai menetap dan beranak pinak serta membagi daratan untukmdijadikan hak pusaka dengan batas-batas yang menjadi teritorial suku yang dapat disaksikan sampai sekarang.


4.2.3.Peninggalan Budaya Ngadha
Tabel 02
Peninggalan Budaya Ngadha
1.Kecamatan Aimere
No.
Nama Kampung Tradisional
Desa
Jarak dari Bajawa
Keterangan Potensi
1.
Belaraghi
Keligejo
47 km
Rumah adat Ngadha
Ngadhu (simbol leluluhur laki-laki)
Bhaga (simbol leluhur perempuan)
Kompleks megalith
Upacara-upacara tradisional
Permainan rakyat
Tari-tarian tradisional
Berbagai cerita rakyat
2.
Lopi Jo
Keligejo
50 km
Sama dengan kampung di atas
3.
Watu
Sebowuli
65 km
Sama dengan kampung di atas
4.
Maghilewa
Inerie
63 km
Sama dengan kampung di atas
5.
Jere
Inerie
61 km
Sama dengan kampung di atas
6.
Sewowoto
Waebela
70 km
Sama dengan kampung di atas
7.
Delawawi
Waebwla
73 km
Sama dengan kampung di atas
8.
Leke
Sebowuli
64 km
Sama dengan kampung di atas

2.Kecamatan Jerebuu
No.
Nama Kampung Tradisional
Desa
Jarak dari Bajawa
Keterangan Potensi
1.
Bena
Tiworiwu
19 km
Rumah adat Ngadha
Ngadhu (simbol leluluhur laki-laki)
Bhaga (simbol leluhur perempuan)
Kompleks megalith
Upacara-upacara tradisional
Permainan rakyat
Tari-tarian tradisional
Berbagai cerita rakyat dan legenda
2.
Luba
Tiworiwu
18 km
Sama dengan di atas
3.
Sarabawa
Tiworiwu
20 km
Sama dengan di atas
4.
Tololela
Manubhara
23 km
Sama dengan di atas
5.
Gurusina
Watumanu
26 km
Sama dengan di atas
6.
Suza
Manubhara
29 km
Sama dengan di atas
7.
Bowaru
Dariwali
23 km
Sama dengan di atas
8.
Buutolo
Dariwali
22 km
Sama dengan di atas
9.
Nage
Dariwali
25 km
Sama dengan di atas
10.
Wajo
Dariwali
26 km
Sama dengan di atas
11.
Nio
Dariwali
27 km
Sama dengan di atas
12.
Nekisi’e
Naruwolo
29 km
Sama dengan di atas
13.
Dokaredu
Naruwolo
29 km
Sama dengan di atas
14.
Deru
Nenowea
39 km
Sama dengan di atas
15.
Pali
Nenowea
43 km
Sama dengan di atas

3.Kecamatan Golewa
No.
Nama Kampung Tradisional
Desa
Jarak dari Bajawa
Keterangan Potensi
1.
Wogo
Ratogesa
22 km
Rumah adat Ngadha
Ngadhu (simbol leluluhur laki-laki)
Bhaga (simbol leluhur perempuan)
Kompleks megalith
Upacara-upacara tradisional
Permainan rakyat
Tari-tarian tradisional
Berbagai cerita rakyat dan legenda
2.
Wogo olo
Ratogesa
24 km
Potensi megalith
3.
Gisi olo
Ratogesa
23 km
Potensi megalith
4.
Lokalina
Doka
26 km
Sama dengan kampung Wogo
5.
Wajamala
Doka
28 km
Sama dengan kampung Wogo
6.
Be’a
Rakateda I
21 km
Sama dengan kampung Wogo
7.
Jeru
Wogowela
44 km
Sama dengan kampung Wogo
8.
Bawarani
Wogowela
45 km
Sama dengan kampung Wogo

4.Kecamatan Bajawa
No.
Nama Kampung Tradisional
Desa
Jarak dari Bajawa
Keterangan Potensi
1.
Bela
Beja
15 km
Rumah adat Ngadha
Ngadhu (simbol leluluhur laki-laki)
Bhaga (simbol leluhur perempuan)
Kompleks megalith
Upacara-upacara tradisional
Permainan rakyat
Tari-tarian tradisional
Berbagai cerita rakyat dan legenda
2.
Sukatei
Beja
16 km
Sama dengan Bela
3.
Namu
Beja
16 km
Sama dengan Bela
4.
Ngadha
Bajawa
3 km
Potensi Megalith
5.
Nua Bawa
Be’iwali
16 km
Potensi Megalith
6.
Ekoheto
Wawowae
17 km
Potensi Megalith
7.
Belu olo
Ubedolumolo
11 km
Potensi Megalith
8.
Langagedha olo
Beja
16 km
Potensi Megalith
9.
Warusoba olo
Be’iwali
6 km
Potensi Megalith




5.Kecamatan Bajawa Utara
No.
Nama Kampung Tradisional
Desa
Jarak dari Bajawa
Keterangan Potensi
1.
Menge
Wololiko
15 km
Rumah adat Ngadha
Ngadhu (simbol leluluhur laki-laki)
Bhaga (simbol leluhur perempuan)
Kompleks megalith
Upacara-upacara tradisional
Permainan rakyat
Tari-tarian tradisional
Berbagai cerita rakyat dan legenda
2.
Pogo bani
Wololika
17 km
Potensi megalith
3.
Gou Paru
Wololika
18 km
Sama dengan kampung Menge


Simbol – Simbol Budaya Ngadha
1.Ngadhu
Ngadhu adalah monumen pengganti rupa leluhur lelaki yang melambangkan persatuan dan kesatuan di dalam satu kestuan hukum adat yang berdasarkan keturunan darah (geneologis) yang dikenal dengan Woe/Klan.
Masyarakat budaya Ngadha atau yang sering disebut penganut budaya Reba berkeyakinan tinggi bahwa Ngadhu adalah orang tua/leluhur menjadi perantara kehidupan keturunan menuju Dewa. Selain itu Ngadhu merupakan kenangan kejayaan seorang leluhur yang menjadi panutan atau dalam bahasa Ngadha disebut dengan kata Sadho dan dalam suatu klan merupakan satu kesatuan yang berdiri penuh untuk mengatur rumah tangga woenya sendiri (otonomi yang kuat). Dalam hal ini masyarakat Ngadha sangat menjunjung Ngadhu yang merupakan reinkarnasi orang tua/leluhur yang harus dihormati supaya hidupnya selamat dan bahagia. Bentuk Ngadhu seperti payung yang beratapkan alang-alang dan mengerucut ke langit yang artinya bahwa masyarakat Ngadha juga percaya akan adanya Tuhan (Lobo wi soi Dewa). Bangunan ini bertiang satu dan berukiran pada batang (tiang) dimana ukiran pada batangnya terdiri dari 3 (tiga) bentangan penampang ukiran (Nai Telu) yang juga memiliki arti tersendiri yakni didalam masyarakat Ngadha masih mempertahankan kasta atau rang, yang dikenal dengan 4 (empat) rang yaitu : Ga’e, Ga’e Kisa, Ga’edhiri dan Ho’o.
2.Bhaga
Bhaga merupakan monument pengganti leluhur perempuan yang merupakan pasangan dari Ngadhu. Dalam masyarakat Ngadha dikenal ungkapan yang berbunyi : ana Sawa Ba’a Lau Lewa Bhaga, Sawa da Ba’a To’o Ngi’i Go Lobo da Milo Olo artinya Keturunan yang bernaung di bawah naungan Leluhur Pokok Perempuan, pasti bangkit berkegiatan penuh keberhasilan yang membahagiakan karena Leluhur Pokok Perempuan itu berlatar belakang kesucian yang agung adanya. Bhaga menunjukan sebagai salah satu ciri budaya Ngadha yang Matrilineal. Bentuk Bhaga sama dengan Rumah Adat (Sa’o). Sarung kesuburan dari leluhur perempuan atau dikenal dengan istilah Kodo Su’a : Sangkar Keselamatan yang merupakan lambang berkelnjutan warisan garis keturunan ibu. Dalam hal ini juga menggambarkan kewibawaan seorang ibu (Finega’e Neka) yang juga merupakan jatidiri masyarakat budaya Ngadha/penganut budaya Reba. Bhubu Mu Kaja Maza istilah dalam bahasa Ngadha yang mengarah pada sebuah keyakinan bahwa leluhur perempuan merupakan seorang pelindung.
3.Peo
Peo adalah batu yang ukurannya 1 (satu) meter. Di lihat dari fungsi lambangnya peo hampir sama dengan Ngadhu, hal ini diyakini bahwa peo merupakan leluhur yang lebih tua dari Ngadhu. Hal ini dikarenakan sebelum Ngadhu yang terbuat dari kayu, sebelumnya leluhur yang terdahulu telah menggunakan batu sebagai Ngadhu. Keyakinan ini diungkapkan dalam ungkapan adat : Ngadhu Wai Watu, Bhaga wai Tana. Selain sebagai gambaran leluhur yang tertua dari Ngadhu, Peo merupakan tempat untuk menambatkan tali hewan korban yang disatukandari Ngadhu sebagai persembahan yang tertinggi kepada leluhur dan Dewa.
4.Sa’o
Sa’o adalah sebuah bangunan komunal yang berfungsi sebagai alat pemersatu di dalam suku dan tingkat kemajuan hidup manusia di dalam suku. Sa’o ini dimaksudkan menggambarkan persatuan dan kebersamaan hidup dalam kelompok sosial masyarakat adat (sebuah suku). Selain sebagai pemersatu sebuah suku, Sa’o juga menunjukan jatidiri para penghuninya dan para anggota suku yang merupakan personifikasi leluhur karena sa’o biasa dihubungkan dengan sebuah nama yakni nama leluhur dari anggota suku yang bersangkutan sebagai implikasi sejarah suku yang selalu mengingatkan anggota suku tentang sejarah perjalanan suku.
Dalam masyarakat budaya Ngadha dikenal ada beberapa jenis rumah adat sesuai statusrumah di dalam sebuah suku yakni :
Sa’o Meze Saka/Peka Pu’u
Sa’o Meze Saka/Peka Lobo
Sa’o Wua Gha’o Peka Pu’u dan Peka Lobo
Sa’o Kaka Peka Pu’u, Sa’o Kaka Peka Lobo dan Sa’o Kaka Wua gha’o
Sa’oDhoro/Dai/Sipo/Padhi hae duri tewu
Pembagian jenis sa’o seperti ini dikaitkan dengan pembagian tugas dan fungsi dari masing-masing jenis sa’o yang harus diemban oleh para pemiliknya. Peka Pu’u adalah Kobho Bhaga atau disebut juga dengan nama Sa’o Teke Kobho Bhaga, dimana semua penghuninya/pemiliknya memiliki hak dan kewajiban yang sama atas segala warisan kekayaan yang menjadi milik dari sa’o peka pu’u. Peka Lobo adalah Kobho Madhu atau disebut juga sa’o Teke kobho madhu atau disebut juga sa’o Teke kobho Madhu dimana pemiliknya mempunyai hak dan kewajiban yng sama atas segala warisan kekayaan milik sa’o peka lobo dan sa’o Wua Gha’o adalah sa’o yang berperan sebagai penengah, yang menjembatani semua kepentingan dalam sebuah suku baik kobho bhaga maupun kobho madhu karena peran sa’o wua gha’o ini digambarkan sebagai ”Wua papa Zua – Gha’o Mai Pali” yang diartikan sebagai perngkul. Semua silang sengketa yang terjadi dalam sebuah suku akan diselesaikan secara kekeluargaan dengan difasilitasi dari sa’o wua gha’o. Selain itu sa’o wua gha’o juga memiliki peran sebagai tujuan bersama baik dari sa’o peka pu’u maupun sa’o peka lobo yang disimbolkan dengan sebuah Peo. Sa’o Kaka adalah sa’o-sa’o pendukung yang dikembangkan menurut jumlah manusia dari masing-masing rumah pokok (Sa’o Meze) baik peka pu’u, peka lobo maupun wua gha’o.
Sa’o Dhoro adalah sa’o-sa’o turunn paling bahwah baik dari sa’o meze maupun sa’o kaka yang diperuntukan bagi anggota suku yang telah berkembang banyak guna mengelola segala warisan kekayaan yang telah dibagi secara merata yang disebut Padhi Hae Duri Tewu. Pengelolaan warisan diarahkan untuk pengembangan kehidupn suku yang lebih baik khususnya dalam bidang ekonomi yang disebut Segha Kodo Manu – Regha Ga’a Ngana.
5.Watu Laba(Watu Lewa/Lengi)
Monumen seorang pemimpin yang melambangkan seorang yang menjadi penginisiatif untuk membangun kampong.

4.2.5. Upacara-Upacara Tradisional Etnis Budaya Ngadha
1.Upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia dari lahir sampai dewasa
Geka Naja
Upacara yang dilaksanakan bertujuan untuk mensyukuri kelahiran anak yang ditandai dengan Poro Puse (memotong tali pusat) serta pemberian nama
Lawi Ana
Upacara yang dilaksanakan bertujuan untuk mengesahkan kehadiran anakdalam keluarga besar dan mensyukuri kelahiran anak yang ditandai dengan penyembelihan babi untuk memberi makan kepada leluhur.

Kiki Ngi’i
Upacara yang dilaksanakan bertujuan untuk mendewasakan seorang gadis sebelum melanjutkan ke jenjang yang lebih lanjut.
2.Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan tradisional khususnya untuk di sa’o/ kawo api melewati beberapa tahap :
Beti tei tewe da moni neni
Pada tahapan ini merupakan tahapan awal/umum yang biasa dialami oleh setiap pasangan berkaitan dengan proses jatuh cinta. Pada jaman dahulu proses beti tei ini biasanya terjadi pada event-event tradisional.
Beku mebhu tana tigi
Beku mebu tana tigi adalah tahapan umum lanjutan dari proses beti tei tewe de moni neni oleh calon mempelai pria yang bertujuan untuk melakukan pendekatan dengan gadis idaman dan keluarga/calon besan yang bersangkutan. Pada tahap ini laki-laki mengadaptasi diri dengan gadis dan keluarga.
Naa boro/sezu
Setelah merasa cocok maka laki-laki yang bersangkutan akan mendiskusikan dengan pihak keluarga tentang kecocokan untuk menjalin hubungan perkawinan dengan gadis idaman yang dimaksud. Selanjutnya akan mengirim delegasi untuk melakukan lamaran ke rumah mertua gadis. Dalam tahap ini biasanya akan mendiskusikan waktu dan proses lanjutan.
Tege tua manu/idi manu nio
Setelah naa boro maka akan dilanjutkan dengan tege tua manu (membawa ayam dan moke/tuak putih) ke rumah calon istri. Pada tahapan ini laki-laki bersama rombongan dan keluarga beriringan menuju rumah calon besan.
Seza /buri peka naja logo bei ube/sui tutu maki Rene
Setelah tege tua manu akan dilanjutkan dengan zeza yang merupakan tahapan puncak dalam mengesahkan pasangan wanita dan laki-laki untuk hidup berdampingan sebagai suami dan istri.
3.Upacara Kematian
Upacara kematian dibagi dalam 2 (dua) bagian yang berbeda yakni :
Mata Ade
Upacara Mata Ade ditujukan untuk mengungkapkan kesedihan dan ucapan selamat jalan terhadap orang yang meninggal, khususnya untuk orang/jasad/mayat yang mati bukan karena kecelakaan (mati yang dikarenakan penyakit menurut versi medis dan analisa ilmiah). Sebelum melaksanakan acara penguburan bagi keturunakan yang mewarisai budaya neku/wajib neku maka akan melaksanakan acara neku untuk mengungkapakan rasa hormat dan sebagai ucapan perpisahan yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban yakni babi dan kerbau.
Mata Golo
Mata Golo adalah acara yang ditujukan untuk mengungkapkan kesedihan dan ucapan selamat jalan terhadap orang yang meninggal. Pada acara ini bagi orang yang mata golo adalah upacara khusus untuk orang yang meninggal karena kecelakaan (mati yang dikarenakan bukan penyakit menurut versi medis atau analisa ilmiah).
Pada tahapan selanjutnya keo redo dan nulu. Nulu ditujukan untuk mengungkapan rasa sedih dan sebagai ucapan perpisahan yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban ykni babi, ayam dan kerbau.
4.Upacara Pembuatan Rumah Adat
Upacara tau sa’o sampai ka sa’o dilalui beberapa tahap yaitu :
Zepa
Zepa Kolo : mempersiapkan alat ukur yang terbuat dari bilah-bilah bambu (kolo), untuk digunakan pada saat mencari bahan-bahan sa’o. Kolo dibuat sebanyak 2 (dua) batang yang satu disebut Kolo Dongo dan Kolo Loza. Kolo Loza berfungsi untuk dibawa ke setiap tempat untuk mengukur bahan sa’o yang dipotong dan Kolo Dongo akan tetap berada di rumah (sa’o) pu’u sebagai antisipasi bila terjadi sesuatu dengan kolo loza misalnya hilang atau patah.
Ka Kolo/Basa Mata Taka
Upacara yang dilakukan sebagai awal dari proses pembuatan rumah adat. Acara ini dilakukan setelah epa (mengukur ukuran rumah) yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan meminta dampingan pada Tuhan dan leluhur bagi peralatan yang akan digunakan dalam bekerja di hutan selama pencaraian material/ramuan pembuatan rumah adat. Dalam acara ini biasanya dilakukan acara penyemelihan hewan kurbn (ayam/babi) dan dilihat hatinya sesuai dengan kebiasaan untuk melihatn urat dari hati hewan kurban yang dkurbankan. Acara ini biasanya dipimpin oleh ketua suku atau orang yang dituakan dalam suku. Dalam acara akan dihadiri oleh seluruh ana sao dan ana woe guna mendukung pencarian material rumah dan proses pembangunan rumah selanjutnya.
Gebhe Puu Kaju
Setelah semua bahan (material) rumah selesai didapat/terkumpul maka akan dilakukan acara pembasmian tunas-tunas kayu yang kayunya telah diambil untuk materila rumah adat baru. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan orang Ngadha bahwa pohon yang telah diambil untuk material rumah tumbuh(bertunas) maka akan membawa sial bagi penghuni dan ana sa’o (anggota rumah/suku).
Bama Ngaru Kaju
Ngaru dipahami sebagai roh yang hidup. Hal ini dikaitkan dengan semua bahan sa’o yang telah disakralkan sebagai perwujudan atau personifikasi leluhur para anggota suku/anggota sa’o yang akan dibangun karena datangnya bahan sa’o dari berbagai tempat menuju tempat persiapan akhir pembangunannya dianggap sebagai datangnya para leluhur yang telah diundang oleh anggot suku lewat berbagai upacara dari setiap tahapan yang telah dilakukan.
Weti
Weti adalah proses untuk memahat atau relief atau simbol-simbol tradisional orang Ngadha. Adapun beberapa relief untuk membuat motif/gambar pada penampang Ngadhu, Bhaga dan sa’o yakni :
Manu (ayam) : melambangkan kelantangan akan kenyataan dan kebenaran. Hal ini dimaksudkan bahwa semua pemilik sa’o atau anggota suku harus berani menyuarakan kebenaran dengan jujur dan lantang seperti apa yang disebut dengan istilah Kako moe manu jago.
Jara (kuda) : melambangkan kekuatan/keperkasaaan sekalihus kelantangan yang senantiasa mendorong para anggota suku untuk terus berusaha membangun sukunya guna menuju kejayaan bersama yang disebut dengan itilah Ie moe jara ngai. Selain itu gambr kuda (jara) juga menggambarkan kekuatan para leluhur yang selalu melindungi para anggota suku atau anggota rumah tersebut. Bila dicermati secara seksama, penampilan gambar kuda dan ayam biasanya menghadap ke dalam sa’o. Dalam hubungannya dengan konsep kejujuran, kebenaran dan kebersihan, maka posisi gambar seperti ini sebenarnya mau menceritakan bahwa segala sesuatu yang buruk yang akan mengganggu persatuan dan kesatuan dalam suku harus ditendang dan disingkirkan untuk tetap melahirkan kebaikan bersama. Pengertian ini senantiasa tergambar dalam ungkapan : gai ne’e wai pali, viki wi nono dhiri, lina wi pia kisa, modhe wi kono one.
Zegu Kaba (tanduk kerbau) : melambangkan kekayaan terutama hewan besar yang dimiliki oleh suku. Pembuktian akan kekayaan suku itu biasanya tampak pada jumlah hewan khususnya kerbau yang dikorbankan pada saat pelaksanaan pesta sa’o yakni ka sa’o. Pada jaman dulu, kekayaan ini juga dibuktikan dengan jumlah hewan yang banyak dan padang gembala suku (kuru kaba/kopo kaba).
Taka dan Bela : adalah perhiasan telingan yang terbuat dari emas, perbedaannya pada ukuran dan peruntukannya. Taka berukuran lebih besar dan biasa dipakai oleh kaum bangsawan laki-laki, sedangkan Bela berukuran lebih kecil dan hanya dipakai oleh kaum wanita. Baik taka maupun bela melambangkan kekayaan khususnya emas yang dimiliki anggota suku.
Tara Tawu/Kisa nata :
Melambangkan perkembangan manusia yang bermula dari sepasang leluhur.
Torengan/Nuka Nua
Nuka nua adalah tahapn atau proses membawa semua material sa’o dari tempat persiapan akhir menuju ke dalam kampung, bersama seluruh penghuni kampung yang diiringi dengan tarian Kelo ghae, Go Laba dan Jai dengan mengintari seluruh pelataran kampung dan kemudian menuju tempat sa’o yang telah dipersiapkan secara baik.
Tere Leke/Tere Pudha
Basa Leke : setelah mengelilingi kampung dalam acara roa dhea, maka dilanjutkan dengan acara Mate Ngana Basa Leke yaitu pengorbanan hewan korban (babi) dalam rangka menyucikan semua meterial sa’o yang akan dibangun terutama leke sebagai bahan dasar sekaligus pemberian makan kepada leluhur.
Mula Lekei : adalah pemasangan tiang sa’o (leke) sebanyak 4 (empat) buah yang terbuat dari kayu hebu dengan bantuan alat ukur yang terbuat dari bambu yang disebut Suru Nuba. Sebelum leke-leke dipancangkan pada tempatnya masing-masing terlebih dahulu dibasuh dengan darah babi korban yang sudah didoakan dalam acara mate ngana.
Se’a Tenga : Tenga adalah balok besar penghubung antar leke. Se’a tenga leke adalah pemasangan balok besar (tenga) untuk menghubungkan atau mengikat antar leke.
Dolu/fedhi wae/dolu wae : menentukan rata atau tidaknya leke yang telah dipasang dengan mericiki air pada pertengahan tenga, bila jatuhnya atau mengalirnya air tegak lurus dari atas ke bawah berarti posisi leke dan tenga yang telah dipasang sudah pas.
Soka Leke : Soka leke pada dasarnya adalah sebuah maklumat atau pernyataan dari para pemilik sa’o atau anggota suku kepada khalayak tentang kesanggupan anggota suku serta proses yang telah dilalui sesuai dengan tahapan-tahapan dalam membangun sa’o mereka.
Remi Ube/Kobo Ube
Pemasangan ube sa’o secara keseluruhanselain pintu atau pene sa’o dengan urutan sebagai berikut : Ulu-wewa , kemo-pali (belakang-depan, kiri-kanan). Ulu-wewa melambangkan mama atau induk yang melahirkan, sedangkan kemo-pali melambangkan anak yang dilahirkan karena itu sebagai mama harus dipasang terlebih dahulu sebelum anak.
Wa’e Sa’o
Gebhe yiru (loteng) adalah bambu-bambu khusus dengan kualitas baik yang dipasang untuk menghubungkan tudhi dhoi dan berfungsi sebagai tempat pijakan lado lewa (tiang nok) sa’o. Kualitas baik dari tudhi dhoi harus ditentukan oleh beberapa persyaratan sebagai erikut : bambu harus berumur tua dan berukuran besar pada kedua ujungnya harus tepat pada buku yang dikenal dengan istilah luki buku pali, keadaan bambu tidak boleh retak atau pecah dan harus dicari oleh orang kepercayaan dalam suku yang menjadi panutan dan tidak bercela dalam segala segi kehidupannya. Hal ini memiliki makna bahwa sa’o yang dibangun merupakan personifikasi leluhur yang penuh dengan segala kebesaran dan keagungan yang sering digambarkan dengan istilah ghubu meze wolo (atap bagaikan gunung) menjadi tidak tercela. Dengan kata lain kesucian, keperkasaan dan keagungan para leluhur perlu terus dijaga dan diwariskan sampai ke anak cucu. Pemasangan tiang nok (lado lewa) yang akan memberikan warna atau bentuk secara keseluruhan terhadap atap (ghubu) sa’o. Keagungn ghubu sa’o yang dikenal dengan istilah ghubu mewe wolo sangat dientukan oleh tinggi rendahnya lado lewa yang dipasang. Semakin tingginya lado lewa yang dipasang yang tentunya disesuaikan dengan besar kecilnya badan sa’o maka secara lahiriahpun sa’o akan kelihatan semakin angun. Pali redhi adalah bilah-bilah bambu berukuran sedang dan kuat yang dipasang secara menyilang pada sisi depan dan belakang lado lewa yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan posisi atap.
Sok soku dolu adalah balok-balok huk berupa bambu-bambu berukuran sedang yang tua dan kuat yang dipasang pada ke-4 sudut sa’o dengan posisimengerucut dengan ujung-ujung bertemu pada ujung kiri dan kanan atas dari lado lewa
Teo zo adalah bambu-bambu bulat yang ukurnnya sedikit lebih besar dari soku dolu dipasang pada ujung ke-4 soku dolu dengan menghubungkan satu sama lain. Teo zo selain berfungsi sebagai perekat soku dolu satu sama lain juga berfungsi sebagai landasan pijak Soku Bhoda.
Soku bhoda adlah bambu-bambu bulat berukuran lebih kecil dari sou dolu yang dipasang secara merata pada semua sisi atap di antara soku-soku dolu dengan jarak 5-10 yang berfungsi sebagai landasan dasar dari alang-alang (keri).
Soku Paba adalah bilah-bilah bambu yang dipasang secara melintang di luar dari soku boda dan soku dolu yang diperkuat dengan tali-tali ijuk dan berfungsi sebagai tempat tambatan alang-alang (keri).
Walu soku adalah saat-saat senggang menjelang tahapan mengatapan sa’o (sewo Sa’o) khususnya pada malam hari yang selalu diisi dengan atraksi tarian hiburan Teke. Teke adalah tarian masal dan lagu yang berisikan syair-syair tentang kondisi atau berbagai hal yang berhubungan dengan suku yang sedang membangun sa’o tersebut. Teke dibagi dalam 2 bagian yaitu bagian pembukaan disebut Kelo ghae.
Pelapisan bubungan sa’o dengan alang-alang sebanyak 30 ikat yang dikenal dengan sebutan Peju zeta nedhu uju bulu telu. Angka 30 merupakan simbol dari 3 tahapan kehidupan manusia yang memberikan harapan dan semangat yakni anak-anak, rmaja dan dewasa sebagai puncak kejayaan hidup manusia. Dalam pembangunan sebuah sa’o khususnya sa’o yang bernama, kedewasaannya selain digambarkan melalui simbol ini juga ditampilkan melalui gambar atau ukiran yang terpampang di dalam sa’o seperti kuda dan ayam baik pada kawa pere, ube ataupun pada ngani lewa. Untuk kedewasaan sebuah sa’o yang berkaitan dengan ukiran-ukiran juga simbol 30 yang telah dikemukakan di atas terdapat ungkapan sebagai berikut : Dia sadho ga Inerie, Leba gha suri laki. Kako gha moe manu jago, Ie ga sama jara ngai.
Tege Sua Sa’o dan Kawa Pere
Tahapan ini adalah proses lanjut yg dilaksanakan setelah pembangunan atap rumah selesai yakni memasukkan symbol-simbol penting yang merupakan lambing dan identitas rumah yakni Sua Sa’o (lambang hak atau yang disebut juga dengan sertifikat tradisional) dan Kawa Pere (lambang kebesaran, kewibawaan sesuai dengan status rumah adat di dalam sebuah suku).
Ka Sa’o
Acara puncak sebagai pentabisan rumah adat yang baru sebagai pertanda bahwa rumah adat ini dinyatakan sehat seseuai dengan ketentuan adat untuk dihuni oleh Ana Sa’o. Pada acara ini biasanya dipentaskan tarian jai Laba Go dan diikuti dengan penyembelihan kerbau dan babi.
Tahapan ini akan dihadiri oleh semua Ana Woe, Wai Laki, Lobo Tozo tara dhaga kerabat dan hubungan perkawinan.
5.Upacara Pembuatan Ngadhu dan Bhaga
Pai tibo taki laza Ngadhu
Dimulai dari loka tiga sewu untuk merencanakan dalam rangka pembuatan Ngadhu dan tempatnya di rumah pokok yaitu upacara Pai Tibo untuk menentukan pohon hebu mana yang akan diambil guna dijadikan btang Ngadhu.
Taki hebu
Gedho lako sebuah tahapan yang dilakukan setelah upacara pai tio yakni beberapa orang dari anggota diutus ke hutan untuk mencari pohon hebu. Setelah mendapat hebu yang ditunjuk oleh tibo akan ditandai dengan pei wako/gelaga guna menandai bahwa pohon tersebut telah menjadi incaran suku yang bersangkutan.
Ida Manu Nio
Idi tua manu/membawa moke dan ayam kepada pemilik tanah yang ditumbuhi pohon hebu dan po’o (memasak nasi bambu) dengan ramuan yakni kelapa merah, babi merah, beras merah sebagai persembahan kepada leluhur baik leluhur kita maupun leluhur dari pemilik pohon hebu.
Pebhe telo dan Paga gala ga’e
Pebhe telo dan Pega gala ga’e/Bhuja Kawa adalah proses lanjutan dari proses di atas. Bhuja Kawa akan dipegang oleh orang yang berasal dari sa’o wua ghao dan keluar dari rumah pokok suku yakni Sa’o Peka Pu’u. Hal ini juga merupakan hasil yang dicapai melalui kesepakatan dari dalam anggota suku. Upacara ini ditandai dengan penyembelihan hewan kurban sebelum kelur dari rumah adat dan dagingnya dimakan bersama, adapun hewan kurban yang dibantai adalah babi dan ayam. Pemegang Bhuja Kawa akan keluar dari rumah dan diikuti oleh peserta dari Sa’o Saka/Peka Puu dan Peka Lobo beserta One Woe.
Pebhe tlo/Pega gala Ga’e/Bhuja Kawa adalah ritual pengesahan secara simbolis untuk menandai pohon Hebu (bakal material batang Ngadhu) menjadi milik bagi woe (suku) yang bersangkutan.
Kela Nio
Kela Nio adalah upacara untuk membelah kelapa yng airnya diyakini dapat memberikan kesejukan bagi roh leluhur yang telah diundang kehadirannya ke dalam pohon Ngadhu. Dengan tahapan ini masyarakat budaya Ngadha berkeyakinan bahwa pohon yang akan digunakan dalam pembangunan Ngadhu menjadi tempat yang sejuk dan sebagai wadah hunian yang nyaman bagi roh Yang Maha Kuasa dan leluhur.
Pai Tibo Taki Weki
Adalh suatu upacara khusus untuk menetukan orang yang saka Ngadhu yakni orang yang berperan sebagai ana koda (nakoda) yang mna orang yang terpilih melalui petunjuk ritual tibo ini akan berlaku sebagai penunggang pada saat batang Ngadhu digotong ke dalam kampung. Orang-orang tersebut adalah orang pilihan yangmana dalam pengambilan perannya tidak asal-asalan agar tidak membawa petaka bagi mereka. Mereka yang berperan untuk saka Ngadhu adalah generasi yang memiliki garis lurus dari penghuni Peka/saka pu’u dan penghuni peka/saka lobo. Kriteria orang yang akan saka Ngadhu adalah harus orang berkasta/rang Ga’e atau apabila tidak ada yang orang Ga’e maka akan dimabil dari orang kasta Ga’e Kisa.
Pogo Ngadhu
Pogo ngadhu adalah tahapan upacara untuk pembuatan Ngadhu selanjutnya yaitu untuk penggalian dan penebangan kayu untuk membangun Ngadhu yang telah didapat melalui petunjuk tibo. Penggalian biasanya diawali dengan gong gendang mulai dari tempat berangkat sampai pada tempat pohon Ngadhu akan digali. Adapun cara penggalian harus disertai dengan 3 (tiga) cabang akar dan kayu tersebut harus bercabang dua. Dalam penggalian akan dilakukan penyembelihan hewan kuran yakni babi dan ayam untuk persembahan kepada Yang Maha Kuasa dan leluhur.
Gebhe Pu’u Ngdhu
Setelah pohon Hebu (material pembuat batang Ngadhu) selesai digali maka akan dilakukan acara pembasmian tunas-tunas kayu yang dimana kayunya telah diambil untuk materila Ngadhu yang baru. Pembasmian ini berkaitan dengan kepercayaan orang Ngadha apabila pohon yang telah diambil untuk materila rumah tumbuh (bertunas) maka akan membawa sial bagi ana woe (anggota suku).
Bama Ngaru Ngadhu
Ngaru dipahami sebagai roh yng hidup, hal ini dikaitkan dengan semua pencarian dan pogo Ngadhu yang telah disakralkan sebagai perwujudan atau personifikasi leluhur para anggota suku dari Ngadhu yang akan dibangun karena datangnya pohon Ngadhu dari hutan menuju tempat persiapan akhir pembangunannya dianggap sebagai datangnya leluhur laki-laki yang telah diundang oleh anggota suku lewat berbagai upacara dari setiap tahapan yang telah dilakukan.
Weti Ngadhu
Proses pemahatan (weti) untuk pembuatan ukiran pada batang Ngadhu akan dilakukan setelah tiba di empat yang ditentukan (sebelum masuk kampung).persyaratan dalam pengukiran Ngadhu yakni terdiri dari 3 (tiga) penampang Nay telu Wutu hemo. Lamanya proses pengukiran disesuaikan dengan persyaratan yakni satu hari satu penampang. Penjelasan arti dari motif ukiran yang akan dipahatkan pada Ngadhu adalah sama dengan motif ukiran yang dipahat pada penampang Sa’o (Rumah adat).
Koe Gemo/Hoa Ngadhu
Koe Hoa Ngadhu adalah tahapan lanjutan yaitu menggali guna mempersiapkan lubang untuk mengisi pangkal pohon Ngadhu. Dalam penggalian bentuk lubangnya harus disesuaikan dengan bentuk akarnya.
Bhei Ngadhu Nuka Nua
Bhei Ngadhu adalah upacara menggotong Ngadhu yang telah diukir di luar kampung untuk memasuki kampung. Ngadhu digotong beramai-ramai oleh semua ana woe (anggota suku) yang disaksikan oleh seluruh isi kampung. Di atas batang Ngadhu yang digotong akan ditunggangi oleh 2 (dua) orang yang sesuai dengan petunjuk tibo yang telah dibuat sebelumnya atau orang yang berperan sebagai Saka Ngadhu (Saka Pu’u dan Saka Lobo). Ngadhu yang dipikul/digotong tersebut akan ditaruh di samping bhaga atau tempat akan dibangunnya lambang perempuan.
Pada upacara ini dimeriahkan dengan tari-tarian yang diiringi musik tradisional (Laba Go) dan tarian Soka Ngadhu yang ditutup dengan penyembelihan hewan kuran babi dan ayam untuk persembahan kepada leluhur dan Yang Maha Kuasa.
Mula Ngadhu
Mula/Pusi Ngadhu adalah tahapan untuk memasukan pangkal Ngadhu ke dalam lubang yang telah disiapkan. Penanaman Ngadhu didahului dengan memasukan anjing merah, babi merah, ayam merah dan beras merah ke dalam cabang-cbang lubang yang telah disiapkan, hal ini adalah simbol untuk memelihara kelangengan usaha One woe (anggota suku) yangakan dijaga oleh roh leluhur yang akan dibangun (ngadhu). Pada pangkal batang Ngadhu (Pu’u Ngadhu) ada batu-batu yang akan disusun secara rapi berbentuk lingkaran sebagai simbol persatuan anggota suku (One woe) yng saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Persatuan yang diwujudkan dengan kumpulan batu ini dilukiskan dengan ungkapan adat yang menggambarkan keakraban dan kegotongroyongan yakni Pio Bodha ne’e Sipo, Bopo Bodha ne’e Da Dho’o yang bertujuan untuk mendukung kekuatan Ngadhu. Pada bagian lain yakni tepat di belakang Ngadhu akan ditanam juga satu buah batu yang tingginya mencapai satu meter (yang dinamakan Peo) dan fungsinya untuk menyatukan ujud pada saat penyembelihan hewan kurban. Peo diyakini kan menjadi tujuan dari Ngadhu dan Bhaga yang proses pembangunannya disatukan dengan pembangunan Ngadhu. Upacara Mula Ngadhu akan ditutp dengan penyembelihan hewan kurban babi dan ayam sebagai persembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan leluhur.
Tau Bhaga
Pembuatan Bhaga atau lambang leluhur perempuan milik suku hampir sama dengan pembuatan rumah adat. Perbedaan antara bhaga dengan rumah adat adalah ukuran Bhaga yang lebih kecil dengan ukiran ular sedangkan ukiran lainnya sama dengan ukiran ada rumah adat. Ukiran sawa/ular menunjukan kewibawaan seorang perempuan yang dapat menjadi model dan contoh bagi anggota suku serta kekayaan yang dimiliki sebagai sarana kemakmuran. Proses pembangunannya sama dengan rumah adat dengan bahan-bahannya adalah papan, alang-alang, bambu, ijuk dan Maghi yang menurut fungsinya sama dengan Sa’o. Bhaga tidak menjadi tempat tinggal hanya sese waktu tempat ini (bhaga) digunakan menjadi tempat upacara adat (Ka Kobo Bhaga) sebagai tempat untuk mempersatukan persembahan dan ujud kepada Yang Maha Kuasa.
Woe Hoza
Adalah upacara setelah penanaman Ngadhu sebelum pembuatan atap Ngadhu yakni penyembelihan kerbau sebagai tanda berdirinya Ngadhu (pengganti rupa leluhur laki-laki) di tengah kampung. Woe Hoza ini sebagai pertanda terwujudnya kehadiran leluhur di tengah anggota suku (one woe) dalam wujud Ngadhu.
Tau Ubu Ngadha
Adalah tahapan pembuatan atap Ngadhu sebagai proses paling akhir sebelum upacara Ka Ngadhu. Atap Ngadhu dibuat berbentuk kerucut dengan sudut yang mengarah ke langit yang mana arah sudut ini diyakini sebagai hubungan antara leluhur dan Tuhan yang dalam ungkapan bahasa Bajawa adalah Lobo wi Soi Dewa. Pembuatan atap seperti ini diilhami oleh masyarakat budaya Ngadha bahwa Ngadhu merupakan jembatan perantara hubungan manusia dengan Penguasa Langit dan Bumi. Keyakinan ini terwujud dalam ungkapan bahasa Ngadha Mula Ngadhu Tau Tubo Lizu Kabu Wi Role Nitu Lobo Wi Soi Dewa.
Ka Ngadhu
Ka Ngadhu merupakan upacara atau pesta syukuran puncak karena Ngadhu (pengganti rupa leluhur laki-laki) sudah selesai dibangun.
6.Upacara Reba
Bui Loka
Bui Loka adalah upacara awal menjelang upacara Reba (upacara Tahun Baru Tradisional). Upacara ini biasanya dilakukan oleh setiap woe (suku) pada suatu tempat khusus di luar kampung atau yng dikenal dalam bahasa Ngadha adalah Loka. Dalam acara ini dihadiri oleh seluruh anggota suku (woe) untuk memohon penyertaan Yang Maha Kuasa dan kehadirn leluhur dalam upacara-upacara dalam kehidupan selanjutnya. Istilah dalam bahasa Ngadha Bui loka oja pe’i radhi lewa Dewa wi dhoro dhegha.
Loka merupakan sekumpulan batu yang disakralkan sebagai tempat pemujaan kpada Yng Maha Kuasa (Dewa Zeta Nitu Zale) dan roh-roh leluhur.
Reba Bhaga/Kobhe Dheke Reba
Reba Bhag adalah acara yang dilaksanakan pada malam menjelang Kobe Dheke reba (malam pertama tahun Baru Tradisional), acara ini bertujuan untuk memberikan persembahan dan sesaji kpada monumen pengganti rupa leluhur wanita (Bhaga) yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban ayam atau babi dan dihadiri oleh one woe, sedangkan Kobe Dheke Reba adalah malam pertemuan pertama bagi one woe (anggota suku) berkumpul untuk merayakan upacara tahun Baru Adat (upacara Reba) pada malam pertama ini biasanya dilakukan upacara syukuran pertemuan dan ucapan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa (Dewa Zeta Nitu Zale) atas perlindungan yang dilimpahkan kepada seluruh one woe (anggota suku).
Leza Reba dan Kobe Reba
Leza Reba adalah hari Tahun Baru Adat, pada momen ini biasanya dilakukan tarian masal yakni tarian Sedo Uwi atau O....wi dan Kobe Reba adalah malam tahun baru dimana One Nua (penghuni kampung0 biasanya saling mengundang untuk makan bersama sebagai bentuk silaturahmi antar sesame masyarakat budaya Ngadha.
Kobe Dhoro/Su’i Uwi
Kobe Dhoro atau Kobe Su’i Uwi adalah malam puncak setiap woe untuk menyelenggarakan evaluasi bersama, perencanaan lanjutan untuk tahun yang akan datangdan diakhiri dengan upacara Su’i Uwi yakni penuturan sejarah kemigrasian sambil mengiris ubi (uwi). Malam su’i ini akan ditutup dengan penyembelihan hewan kurban berupa ayam atau babi untuk memberikan persembahan kepada leluhur.
7.Upacara Ka Nua/Ka Lengi/ Ka Watu Lewa dan Ture
Upacara ini meruapakan upacara penghormatan kepada pemimpin kampung yang telah berinisiatif untuk mendirikan kampung (mori tere lengi). Acara ini juga sebagai pengresmian kampung untuk dihuni oleh suku-suku yang akan mendiami suatu kampung. Puncak acara ini adalah pembantain hewan kurban secara besar-besaran sesuai dengan kesepakatan One Nua (penghuni kampung0 yang bersangkutan. Pembuatan sebuah monument megalitik pada kampung ini harus melalui tahapan antara lain :
Meramal dalam rngka untuk mencari tempat atau batu yang akn diangkat dengan membuat Tibo (ramalan tradisional) biasanya tempat pengambilan batu terletak ke arah Wae Bela dan Bena biasa masyarakat menyebut ”Lau wae Ruba ne’e Zeta Rato”.
Pengangkatan batu/pahgho watu. Pengangkatan batu membutuhkan banyak orang
Na’a Ngia
Saa ngaza
Li goo Laba Jai
Gili Ngadhu Bhaga
Pewi Bela
Pada saat upacara ini seorang anak perempuan dari keturunan orang yang terelengi memakai bela (anting-anting) dan laki-laki memakai Wuli kemudian menari mengelilingi Ngadhu dan Bhaga sampai pada batu peringatan inisiator pendirian kampung.
8.Upacara Bercocok Tanam
Upacara yang biasa dilakukan berkitan dengan siklus penanaman padi ladang. Upacara pada proses tradisional masyarakat budaya Ngadha dilakukan pada semua tahapan ykni pembukaan lahn sampai memanen padi.
9.Upacara Ri’i
Upacara yang dilakukan untuk pengangkatn sumpah bersama sebagai larangan untuk mengambil milik orang tanpa sepengetahuan tuannya. Proses upacara ini dihadiri oleh seluruh unsur masyarakat mulai dari pemerintah, para ktua suku maupun warga masyarakat. Upacara ini ditandai dengan penyembelihan hewan kurban kerbau dan babi.
10.Upacara Penyerahan Hak Kebun/Lahan yang dibeli/Gose Wa’i Ngeta/Jura Lange
Upacara yang diselenggarakan untuk mengesahkan proses penjualan dan pembelian lahn seseorang yang berlaku sebagai penjual dan pembeli lahan.upacara ini dihadiri oleh semua saksi terutama para pemilik kebun tetangga serta anggota suku dari penjual dan pembeli. Dalam upacara ini biasanya dilakukan di tempat (lahan) yang dijualbelikan yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban berupa babi dan ayam untuk persembahan serta dimakan bersama.
11.Upacara Pengambilan Tuak yang pertama/Dhoro Solo
Dhoro Solo adalah upacara syukuran pemanenan tuak perdana dari pohon aren. Acara ini bertujuan untuk mengucap syukur kepada Penguasa langit dan bumi (Dewa Zeta Nitu Zale) yang telah memberikan hasil tuak. Pada acara ini biasanya dilakukan penyembelihan hewan kurban untuk dipersembahkan kepada leluhur dan dagingnya dimakan oleh peserta upacara.
12.Upacara Pemulihan (Pembersihan)
Upacara pemulihan terdiri dari beberapa macam sesuai dengan tujuannya :
Upacara Woko Liko Kada
Upacara yang dilakukan untuk pemulihan bagi seorang yang telah membunuh orang dan telah menjalankan hukuman penjara, selain untuk pemulihan dan pembersihan yang dimaksud acara ini juga berfungsi sebagai ritus nasehat baik bagi pelaku maupun bagi sesama yang mengikuti upacara untuk tidak lagi melakukan kesalahan serupa yang dilakukan pelaku dalam ungkapan adat ”Sau ma’e Ngada Bhuja ma’e laji”. Dalam upacara ini biasa dilakukan penyembelihan hewan kurban berupa kerbau dan babi untuk memberi ujud persembahan kepada leluhur dan dagingnya dimakan bersama.
Upacara Rubu Rao
Upacara yang dilakukan untuk emulihan nama baik seseorang yang telah dicemari oleh seseorang, selain untuk pemulihan dan pembersihan yang dimaksud acar ini juga berfungsi sebagai denda bagi pelaku yang mencemari nama baik seseorang dan berperan sebagai ritus nasehat baik bagi pelaku maupun bagi sesam yang mengikuti upacara unuk tidak lagi melakukan kesalahan serupa yang dilakukan pelaku dalam ungkapan adat ”Toke ma’e deke mote ma’e weo”. Dala, upacara ini biasa dilakukan penyembelihan hewan kurban berupa kerbau dan babi yang segala biayanya ditanggung pelaku yang bersangkutan untuk meminta maaf kepada seseorang yang namanya telah dicemari juga untuk memberi ujud persembahan kepada leluhur dan dagingnya dimakan bersama.
Upacara Dhoro Ga’e/Nuka Nua
Upacara yang dilakukan untuk pemulihan seorang perempuan (rang Ga’e) yang telah melakukan kesalahan dalam berpasangan (tidur bersama/ mengambil suami) dengan orang yang bukan dari kalangan rang Ga’e. Upacara ini lebih ditekankan pada fungsinya untuk pembersihan kesalahab yang telah dilakukandan untuk menurunkan kasta (rang) dari kasta ga’e mengikuti kasta/rang suami. Dalam upacara ini biasa dilakukan penyembelihan hewan kurban kerbau dan babi yang segala biayanya ditanggung pelaku yang bersangkutan untuk meminta maaf kepada leluhur dan dagingnya dimakan bersama.
Upacara Sebhe Bhaku dan Basa Nata Rogho
Pacara yang dilakukan untuk pemulihan kesalahn bagi laki-laki dan perempuan yng telah berbuat salah (berzinah) namun kduanya tidak bersedia untuk hidup bersama sebagai suami istri . Untuk jenis kesalahan ini pihak laki-laki dikenaan sangsi adat berupa kerbau atau kuda sesuai dengan peraturan adat yng berlaku di masing-masing kampung untuk dibayarka kepada pihak perempuan yang bersangkutan. Sesudah menjalankan proses pembayaran denda maka bagi pihk laki-laki akan melakukan upacara Sebhe Bhku (pemulihan untuk boleh mengambil/meminang perempuan lain sebagai istri) sedangkan bagi pihak perempuan akan menjalankan upacara Basa nata Rogho sebagai upacara pemulihan untuk boleh menerima laki-laki menjadi suami. Acara ini juga berperan sebagai ritus nasehat baik bagi pelaku aupun bagi sesama yang mengikuti upacara untuk tidak lagi melakukan kesalahan yang dilakukan kedua pelaku yang bersangkutan dalam ungkapan adat ”ma’e pe go beke sese ma’e laga go pa’a bhara’. Dalam upacara ini bisa dilakukan penyembelihan hewan kurban berupa babi oleh keluarga-keluarga bersangkutan di rumah adat masing-masing untuk meminta maaf kepada leluhur atas kesalahan juga untuk memberi ujud persembahan kepada leluhur dan dagingnya dimakan bersama di masing-masing pihak.
Upacara Sewu Ngewu
Sewu Ngewu adalah upacara pemulihan dalam bencana kebakaran kampung. Upacara ini melalui beberapa tahap yakni :
Zoze Api
Upacara yang dilakukan setelah bencana kebakaran kampung yang bertujuan untuk memutuskan hubungan dengan kutukan api.
Kago Te’e Bola
Upacara untuk memasukan barang-barang yang dikeluarkan dari dalam rumah karena takut dan panik pada saat kebakaran. Upacara ini dilakukan oleh orang-orang yang merupakan penghuni rumah tangga dalam kampung yang luput dari bencana kebakarn di masing-masing rumah.
Pa’i Tibo Taki Api
Upacara yang dilakukan oleh pemilik rumah yang terkena musibah kebakaran guna mencari petunjuk ritual tradisional untuk mengetahui sebab-sebab kebakaran.
Sewu Ngewu
Upacara penyembelihan kerbau oleh pemilik rumah yang terkena musibah kebakaran yang bertujuan untuk menyejukan kepanasan yang disebabkan oleh kebakaran yang telah terjadi dan untuk menjalin hubungan kembali dengan leluhur dan yang Maha Kuasa.
13.Upacara Ghoro Wae
Tahapan yang biasa dilakukan dalam pembangunan air minum atau irigsi adalah sebagai berikut :
Teki Mori Watu Tana/Mata Wae
Tahapan untuk meminta ijin kepada tuan tanah dimana lokasi mata air berada guna membangun saluran air minum.
Gose Sau Su Bhuja
Upacara persetujuan antara pihak tuan tanah dan pihak yang meminta ijin, yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban di mata air dan penancapan Gala Ga’e serta Sau Ga’e secara simbolis oleh tuan tanah.
Bama Ngaru
Upacara ini adalah tahapan setelah pemasangan instalasi air minum sampai pada areal di dekat kampung yang bertujusn untuk mengucapkan selamat datang kepada air terlebih perdamaian Penguasa Bumi (Nitu).
Rida Mori wae
Upacara penghargaan kepada tuan tanah yang ditandai dengan pemberian seperangkat pakaian adat lengkap.
Ghoro Wae
Upacara puncak dimana air telah memasuki kampung. Upacara ini bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada leluhur dan penguasa Langit dan Bumi (Dewa Zeta Nitu Zale). Dalam upacara ini biasanya ditandai dengan penyembelihan hewan kurban berupa kerbau dan babi yang dimeriahkan dengan tarian tradisional Jai Laba Go.

Tarian, Pakaian Adat, Alat Musik dan Lagu-lagu Tradisional Etnis Budaya Ngadha
1.Tarian
Tari-tarian tradisional yang sering dilakukan pada upacara-upacar tradisional dan event-event penting pada rumpun budaya Ngada adalah :
Soka
Soka adalah sebuah tarian yang sering dilakukan pada acara-acara adat. Tarian ini dibagi dalam beberapa jenis sesuai dengan tujuan yang dilakukan atau diadaptasikan dengan tujuan upacara. Adapun jenis-jenis soka yaitu :
a.Soka Sa’o
b.Soka Ngadhu
c.Soka bhaga
d.Soka Golo
e.Soka Jura Langa
Teke
Teke adalah jenis taraian dan nyanyian adat yang berisikan pantun-pantun ajaran yang diwariskan dari leluhur yang sering dipentaskan pada tahapan-tahapan tertentu dalam pebuatan rumah adat Ngadha.
Lea Manu
Jenis tarian syukur yang dipentaskan pada acara Ka Sa’o yang diiringi dengan Go Laba.
Wuga Ngusu
Jenis tari perdamaian yang dipentaskan pada saat perdamaian antara dua pihak yang berseteru.
Jai Laba Go
Tari masal yang merupakan tarian yang paling sering dipentaskan pada saat pembuatan Ngadhu, Bhaga, Peo, Ture dan upacara-upacara penting lainnya, selain dipentaskan pada saat upacara-upacara tradisional jai ini juga dipentaskan pada penjemputan tamu-tamu penting.
Sedo/O....wi
Tarian Sedo/o...wi adalah sebuah tarian masal yang sering dipentaskan pada saat upacara Reba (Tahun Baru Adat).
Sago Alo/Kadhi Dhoga
Tarian hiburan yang sering dipentaskan pada event-event tradisional. Tarian ini merupakan tarian yang menguji ketangkasan untuk melompat di antra mainan atau pukulan bambu yang saling menjepit.
2.Pakaian Adat
Pria
Untuk pakaian adat yang dipakai oleh pria terdiri dari ;
a.Boku
Penutup kepala yang berfungsi sebagai mahkota yang melambangkan kejantanan. Boku tersebut terbuat dari kain yang ditenun berwarna coklat tua
b.Maringia
Secarik kain merah/kuning yang diengkapi hiasan yang digunakan sebagai pengikat untuk memperkuat boku pada kepala
c.Lue
Selembar kain yang bermotif kuda atau ayam yang dilipat dan dikenakan menyilang pada punggung laki-laki

d.Sapu
Kain yang bermotif kuda atau ayam dengan warna dasar hitam yang dikenakan sebagai pengganti celana panjang
e.Keru
Ikat pinggang yang ditenun dengan motif kuda atau ayam yang berfungsi sebagai penguat kain.
f.Lega
Lega/tas adat dibagi 2 (dua) jenis yakni :
Lega Lua Rongo/Lega Jara
Tas anyaman yang diberikan hiasan bulu kuda putih atau bulu kambing putih pada bagian sisi penampang luar
Lega Kebi Tuki
Tas anyaman adat yang diberikan hiasan biasa yang tidak terbuat dari bulu kuda atau kambing.
g.Degho
Gelang adat yang terbuat dari gading gajah.
h.Sa’u
Parang atau klewang yang diberi hiasan bulu kuda putih pada bagian gagangnya (rega sau).
i.Wuli
Kalung khusus yang dikenakan pada saat upacara tertentu yang terbuat dari seperangkat kulit kerang laut.
Wanita
Untuk pakaian adat yang dikenakan oleh wanita yaitu :
a.Medo
Hiasan kepala terbuat dari stik bambu yang diberi hiasan bulu kuda putih.
b.Maringia
Hiasan di dahi yang terbuat dari potongan kain dengan ukuran lebar ± 1 cm panjang sesuai kebutuhan dan dihiasi dengan manik-manik atau perak.
c.Rabhe Kobho
Penguat konde atau manik-manik yang berfungsi sebagai hiasan kepala
d.Kasa sese
Sepasang kain kuning dengan lebar ± 3 cm dengan panjang sesuai kebutuhan dan biasa dipakai dengan cara mnyilang pada dada sampai punggung.
e.Lawo
Kain tenun yang berwarna dasar hitam dihiasi dengan motif kuda atau ayam putih atau biru.
f.Butu Bae
Kalung panjang yang terbuat dari manik-manik.
g.Lega
Sama seperti lega yang dipakai oleh laki-laki
h.Degho
Sama seperti yang dikenakan oleh laki-laki namun ukurannya lebih kecil.
i.Lua Manu
Rangkaian bulu ayam yang diikat dengan benang untuk dikenakan pada jari tangan.
j.Tuba
Sejenis hiasang yang terbuat dari kayu atau tongkat yang diberikan asesoris bulu ayam dan bulu kuda putih yang dipakai pada saat menari.
3.Alat Musik
Go
Seperangkat gong (alat musik yang mirip dengan gamelan). Gong terdiri dari 5 (lima) buah yakni wela, Uto, Bheme dan sepasang Ridhu (Go Doa).
Laba
Laba adalah alat musik pasangan dari gong yakni seperangkat gendang yang terdiri dari 3 (tiga) buah yakni Dera dan sepasang Laba Wa’i.
4.Lagu-Lagu Tradisional
Adapun lagu-lagu tradisional yang sering dinyanyikan oleh masyarakat budaya Ngadh diantaranya adalah :
O Ine Mora Ate
Besi Bero
Be’i Benga
Guru Zele Wolo
Bengu rele kaju dan lain-lain


Permainan Rakyat Etnis Budaya Ngadha
Wela Maka
Juru dhongi
Ghoro Aze
Leba Uki
Fedhi Dhara
Jara Haro
Bo Repa
Maka Jara
Ghebhe Zo
Jedho Watu
Joro Kobha
Meo Lele Dheke


Peta 01

Proses migrsi Orang Ngadha


Sumber Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah raga Kabupaten Ngada

Peta 02
Propisi Nusa Tenggara Timur

Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga



Peta
Peta Pulau Flores





Peta
Persebaran Budaya Ngadha di Kabupaten Ngada



Sumber Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ngada



Gambar


Kampung-Kampung Tradisional Rumpun Bdaya Ngadha












Sumber Data Primer
Gambar


Upacara Tradisional














Sumber Data Primer
















Gambar


Potensi Kepurbakalaan
















Sumber data Primer
















Gambar


Potensi pendukung Kepariwisataan lainnya














Sumber data Primer
Gambar


Panorama 17 Pulau Riung














Sumber data primer

























KABUPATEN NGADA, FLORES NTT
.1. Letak Geografis
Kabupaten Ngadha merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak diantara 8°-9° lintang Selatan dan 120° 45° - 121° 50° bujur Timur.bagian utara berbatasan dengan Laut Flores, Bagian selatan berbatasan dengan Laut Sawu, bagian Timur dengan Kabupaten Nagekeo dan bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Manggarai.
Menurut persebaran Budaya Ngadha pada 5 (lima) kecamatan yang ada di Kabupaten Ngadha yakni Kecamatan Bajawa, Kecamatan Golewa, Kecamatan Bajawa Utara, kecamatan Jerebuu dan Kecamatan Aimere dengan batas persebarannya yaitu:
Utara dengan daerah persebaran Budaya Riung dan Budaya Soa
Selatan dengan Laut Sawu
Timur dengan persebaran Budaya Nagekeo pada Kabuapaten Nagekeo
Barat dengan persebaran Budaya Manggarai
.2. Topografi
Keadaan topografi persebaran Budaya Ngadha pada umumnya berada pada bagian selatan Kabupaten Ngada Secara garis besar persebaran Budaya Ngadha berada pada dataran rendah yang curam dengan kemiringan rata-rata 0-60% menurun dari arah Utara Ke selatan dan Timur ke Barat.
.3. Iklim
Pada persebaran Budaya Ngadha tergolong beriklim tropis dan sebagian besarnya terdiri dari padang rumput. Pada areal hutan yang ada ditumbuhi pepohonan seperti kemiri, asam, kayu manis, lontar dan lain sebagainya.
Keadaan iklim pada teritorial Budaya Ngadha menurut Schmidt dan Ferguson adalah iklim tipe E, yaitu dengan enam bulan basah dari November sampai April, dan enam bulan kering dari bulan Mei sampai Oktober. Berdasarkan catatan stasiun pengamat daerah ini, diketahui volume curah hujan rata-rata 169,27 mm per tahun. Temperatur uadaranya bervariasi mengikuti keadaan morphologi yaitu di dataran tinggi rata-rata lebih rendah, dan di dataran rendah rata-rata lebih tinggi.
.4. Jumlah Penduduk
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2008, penduduk Kabupaten Ngada berjumlah 251,792 jiwa dengan rincian laki-laki : 121.821 jiwa dan perempuan 129.971 jiwa yang terdiri dari 51.323 KK, sedangkan jumlah penduduk pada persebaran Budaya Ngadha terdiri dari 19.391 KK. Berikut ini diagram jumlah penduduk di Kabupaten Ngada.

Sumber Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ngada
Gambar 02
Diagram Jumlah Penduduk




Arti Nama Ngadha
Beberapa nara sumber kebudayaan Ngadha menyebutkan Ngadha berasal dari kata Magadha yaitu nama sebuah tempat di India yang memiliki kemiripan penerapan tatanan kehidupan yang hampir sama dengan orang Ngadha di Pulau Flores (Ota Roja).
Meskipun penuturan beberapa nara sumber di atas tidak dapat dibuktikan dengan pasti namun Ngadha adalah nama salah satu Woe (suku) yang ada dalam rumpun budaya Reba (budaya Ngadha/budaya Ngadhu-Bhaga). Suku-suku dalam kebudayan Ngadha mendiami daerah-daerah pada 5 (lima) kecamatan di seputar gunung Inerie. 5 (lima) kecamatan yang menjadi teritorial persebaran budaya Ngadha adalah kecamatan Bajawa Utara, kecamatan Jerebuu, kecamatan Golewa dan kecamatan Aimere.
Persebaran Woe Ngadha dan pengaruhnya menjadi salah satu yang berpengaruh besar pada penyebutan idenatitas budaya antara kalangan rumpun budaya Reba/budaya Ngadhu-Bhaga. Woe-woe (suku-suku) yang tergolongan dalam nama Woe Ngadha diantaranya adalah Woe Ngadha di kampung Bajawa, Woe Ngadha (Ebu Kodo dan Ebu Lodo) di kampung Watujaji (Ngadha Mana) dan Woe Ngadha yang ada di kampung Bokua, Kecamatan Bajawa, Woe Ngadha (Ago Ngadha) di kampung Bena, Kecamatan Jerebuu, woe dan woe Ngadha yang ada di kampung Belarghi, Kecamatan Aimere.
Berpijak dari pengaruh dan persebaranWoe Ngadha di atas maka banyak kalangan dan nara sumber serta beberapa literatur yang telah ada menyebutkn identitas budaya bagi rumpun penganut budaya Reba/budaya Ngadhu-Bhaga sebagai Budaya Ngadha. Nama dan identitas ini telah menjadi penyebutan yang lazim bagi penganut budaya Reba yang terdiri dari berbagai woe dengan masing-masing nama.
Menurut salah satu nara sumber budaya Ngadha Yosep Tua Demu: Ngadha/Ngada berarti memandang atau melihat ke atas secara tegak lurus, seperti yang terungkap dalam ungkapan orang Ngadha yakni Ngada Zi’a ghe’e ulu Zeta pe’e Pengi nee liko digho yang berarti menengadakan muka ke atas baru merunduk dan melihat sekitarnya di bawah. Secara harafiah ungkapan ini berisikan falsafah atau ajakan prinsip hidup untuk masyarakat budaya Ngadha. Ungkapan ini berarti bahw Ngadha adalah memandang ke atas yang berpengertian meminta inspirasi dari Yang Di atas (Dewa Zeta), setelah mendapatkan inspirasi baru merunduk untuk berbuat terhadap apa yang dipandang pada lingkungan sekitarnya. Dengan demikian Ngada adalah permohonan atau do’a kepada ujud yang tertinggi untuk mendapatkan sumber pemahaman yang baik dan rahmat yang baik untuk bekerja dan membangun dunia di sekitar kita.
Ngadha dihubungkan dengan kegiatan orang budaya Ngadha di saat mengunjukan sesaji, khususnya dalam berbagai upacara adat biasanya orang mengucapkan doa adat dengan menengadahkan muka ke atas seraya mengucapkan doa guna memohon perkabulan ujud tertentu.
Menurut Nikolaus Nono Wara menuturkan bahwa Ngdaha terdiri dari dua suku kata yakni Nga dan Dha; Ngha berarti memandang, menjenguk, membesuk, melihat, memeriksa, mengoreksi, mengawasi, menoleh, mengundang, mengajak dan mencari; sedangkan Dha berarti kebawa secara berurutan. Menurut beliau, Ngadha berrati sangat luas yakni pandangan yang bersumber dari Ketuhanan (Dewa) dengan mengutamakan rasa persaudaraan yang harus diaktualisasikan dengan saling memandang, menjenguk, membesuk, melihat, memeriksa, mengoreksi, mengawasi, menoleh, mengundang, mengajak dan saling mencari hal-hal positif guna memupuk kebersamaan dalam suasana kekeluargaan dan kekerabatan guna berpikir, merencanakan dan berbuat sesuatu mulai dari hal besar sampai hal kecil.





Asal - muasal Orang Ngadha sampai ke Pulau Flores
Dalam menelusuri sejarah asal muasal orang Ngadha, perlu dicermati makna dari pada Su’i Uwi yang biasa dilaksanakan pada setiap woe (suku) di seluruh sebaran rumpun budaya Ngadha. Dari Su’i Uwi itu sendiri menggambarkan bahwa orang Ngadha yang sekarang menghuni daerah diseputaran gunung Inerie bukan penduduk asli Flores (Ota Roja). Mereka adalah hasil dari proses kemigrasian yang telah dilakukan oleh para leluhurnya menuju Flores yang telah dilakukan selama berabad-abad (”na na peti fa’o da na leghe lapi”). Dikatakan dalam Su’i Uwi bahwa asal leluhur sebenarnya berasal dari suatu tempat yang sangat jauh dan sudah tidak diketahui namanya dengan pasti (pu’u zili Giu Pu’u Gema). Namun dari berbagai prediksi dan perkiraan yang didapat dari berbagi nara sumber asal leluhur orang Ngadha adalah India. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat secara langsung dalam penerapan tatanan kehidupan orang Ngadha yang memiliki kemiripan dengan peradapan Hindu Kuno. Kemiripan ini dapat disaksikan secara langsung pada keseharian masyarakat yang masih mempertahankan kasta dan ukiran yang mirip dengan huruf dan relief India. Dalam Su’i Uwi juga menjelaskan bahwa leluhur orang Ngadha juga merupakan para pelaut yang cukup tangguh sehingga dalam proses migrasi mereka selalu menggunakan perahu dari satu pulau ke pulau lain. Dari proses migrasi yang digambarkan di dalam Su’i dapat ditangkap dengan jelas tempat-tempat persinggahan sampai pada tempat akhir di Pulau Flores (Ota Roja). Daerah yang bersangkutan adalah India (pu’u Zili Giu pu’u Zili Tana India) sebagai tempat asal, Zealand (Selo One), Cina, Malaka (se’a gha Maza Tana Malaka), Jawa, Sumbawa (Raba), Sumba (Wio) dan sampai pada pendaratan di Ota Roja (Pulau Flores).
Su’i Uwi adalah ajaran pokok yang juga adalah pilar dari semua ajaran pokok dalam kehidupan masyarakat budaya Ngadha/rumpun penganut budaya Reba (budaya Ngadhu-Bhaga). Hal ini dikarenakan fungsi dan peranan daripada Su’i Uwi itu sendiri sangat mendasar dalam pengimplementasiannya pada kehidupan masyarakat Ngadha. Su’i Uwi merupakan kegiatan paling inti dalam melaksanakan ritus Reba yang merupakan upacara tahun baru tradisional masyarakat Ngadha yang biasa dilaksanakan pada malam terakhir atau yang dikenal dengan sebutan Kobe Dhoro.
Dalam Su’i Uwi terdapat banyak hal yang menjadi pilar kehidupan masyarakat Ngadha yang diantaranya adalah ajaran pokok, kepercayaan dan yang paling penting adalah tempat asal muasal orang Ngadha serta tempat-tempat singgahan dalam kemigrasian, asal muasal dari pada gadis yang diperistri pada masa lampau yang nantinya bercikal bakal terbentuknya bagi suku (woe). Berikut adalah Su’i Uwi yang disajikan satu persatu :

Dalam Bahasa Ngadha
Dalam Bahasa Indonesia dan Penjelasan
1.
Su’i O.........wi, Su’i O........wi
1.
Inilah ajaran pokok kehidupan
Sebagai awal dari kalimat ajakan pembuka untuk menyimak ajaran yang akan disampaikan.
2.
Pu’u zili giu pu’u zili gema zili tana India Su’i O......wi
2.
Dari tempat yang jauh dan tidak terdapat titik terangnya di tanah India itulah ajarn pokok kehidupan.
Asal muasal leluhur yang memulai kemigrasian bermula dari suatu tempat di Tanah India
3.
Zili Meko da tere tolo dara masa sa ulu roro Su’i O.....wi
3.
Terdapat adanya sumber terang yang memberi sinar inspirasi bagi kehidupan manusia.
Butir ini menunjukan permulaan daripada terang inspirasi bagi kehidupan manusia dan lingkungan
4.
Zili Sebhe Gha Selo One Su’i O......wi
4.
Telah singgah di Zealand
Dari India berpindah ke Zealand
5.
Da Jo jo dia, Da Jo jo Dheso Su’i O…..wi
5.
Semakin berpindah kemari tujuannya itulah ajaran kehidupan
Perpindahan yang dilakukan tidak serempak dan cepat namun bergeser perlahan yang disebabkan oleh faktor alam dan lainnya.
6.
Zili da nga gha Sina One Su’i O…..wi
6.
Telah sampai ke daerah pedalaman china




Diperkirakan pada masa itu para leluhur berjalan di atas es sampai kepada daerah pedalaman Cina
7.
Da lete wai go Koba Leke da daro wai go kawikao Su’i O....wi
7.
Dengan menerobos hutan belantara
Mereka telah menjelajah hutan dan masuk kepedalaman sampai pada pantai Cina Selatan
8.
Da jo jo dia,Da Jo jo Dheso Su’i O.....wi
8.
Semakin berpindah kemari tujuannya itulah ajarn kehidupan.
Perpindahan yang terus terjadi dari hari ke hari. Perpindahan tersebut dikarenakan persediaan makanan dan kegiatan berburu serta meramu
9.
Zili da pita gha nee bu’e Sina Su’i O...wi
9.
Juga telah mempersunting gadis Cina
Digambarkan bahwa salah seorang dari para leluhur mempersunting gadis Cina.
10.
Zili toni gha ne’e Uwi Su’i O......wi
10.
Mereka sudah mulai menanam Ubi
Mereka mulai mengenal cara bercocok tanam dengan mulai menanam Ubi
11.
Da na, na peti fao da na, na lehge
11.
Berhenti sementara dan beranak pinak
Dalam perkiraan mereka tiba dan mendiami daerah pantai Cina Selatan dan membentuk komunitas di sana.
12.
Zili da pako gha ne’e rajo Su’i O...wi lapi Su’i O.....wi
12.
Di tempat itu mereka mulai membangun perahu
Pada zaman dimana mereka membuat perahu diperkirakan pada saat berakhirnya zaman es.
13.
Zili da Wake gha ne’e Mangu Su’i O....wi
13.
Disana telah ditegakkan tiang tengah pada perahu
Mereka mulai mendirikan tiang perahu.
14.
Zili da Webha gha Laja Su’i O....wi
14.
Telah membentang layar
Mereka memasang dan membentangkan layar
15.
Zili do seda gha tuku Su’i O.....wi
15.
Telah dirangkulkan pendayung untuk mendayung perahu.
Mereka mulai memasuki perahu dan mulai berlayar dengan medayung perahu.
16.
Zili da kesogha Uli Su’i O....wi
16.
Disana telah putar haluan kemudi
Dengan memutar kemudi arah bintang di langit.
17.
Zili da Tange Dala Su’i O....wi
17.
Mengikuti petunjuk arah bintang
Merekapun mengikuti arah bintang di langit.
18.
Zili Mesi mite zili Laja nga rie-rie Su’i O....wi
18.
Disana telah berada di tengah lautan dengan layar yang mengembang
Dalam pelayaran yang dilakukan, merekapun dibantu kekuatan angin untuk melajukan perahu
19.
Da Jo jo dia, Da Jo jo Dheso Su’i O....wi
19.
Semakin berpindah kemari tujuannya
Pelayaran makin ke arah Selatan dan semakin mendekat
20.
Zili da nga dara tana maza, Tana Malaka S21.u’i O....wi
20.
Telah mendarat di daratan, di Tanah Malaka
Mereka mendaratkan perahu di daratan Pantai Malaka.
21.
Da na, na peti fao da na, na leghe lapi Su’i O....wi
21
Berhenti sementara dan beranak pinak
Di tempat yang didarati, mereka berhenti dan beranak pinak.
22.
Zili da tewa wali gha laja Su’i O....wi
22.
Dibentangkannya kembali layar
Mereka kembali ke perahu dan membentangkan kembali layar.
23.
Zili da seda gha wali tuku Su’i O....wi
23.
Disana dikayuhnya kembali pendayung
Mereka mendayung kembali untuk melanjutkan pelayaran
24.
Zili wali ggo ga mesi mite Su’i O....wi
24.
Disana telah berada kembali di tengah lautan
Merekapun berada kembali ke tengah laut
25.
Da Jo jo dia, Da Jo jo Dheso Su’i O....wi
25.
Semain berpindah kemari tujuannya itulah ajaran pokok kehidupan
Semakin kemari kearah yang dituju
26.
Zili da nga gha dara Tana Jawa Su’i O....wi
26.
Disana telah terpandang daratan Tanah Jawa
Mereka telah melihat Tanah Jawa
27.
Zili da kolu gha watu Su’i O....wi
27.
Disana telah diturunkannya jangkar
Mereka merapat ke tepi pantai dan menurunkan jangkar
28.
Zili da pole gha laja Su’i O....wi
28.
Disana digulungkannya kembali layar
Mereka menggulungkannya layar
29.
Da na, na peti fao da na, na leghe lapi Su’i O....wi
29.
Berhenti sementara dan beranak pinak
Mereka berhenti dan beranak pinak
30.
Zili Dasili gha wini Zili da ghale gha ne’e Ngawo Su’i O....wi
30.
Disana telah bercocok tanam
Merekapun mulai mengenal berbagai jenis makanan dan benih untuk bercocok tanam sebagai sumber makanan baru
31.
Zili da maga gha nee Bu’e Jawa Su’i O....wi
31.
Disana telah mengawini Gadis Jawa
Beberapa dari merekapun mengawini gadis-gadis Jawa
32.
Zili da teki gha wali watu Su’i O....wi
32.
Disana telah diangkatnya kembali jangkar
Merekapun kembali ke perahu dan mengangkat jangkar untuk melanjutkan pelayaran
33.
Zili da webha gha wali laja Su’i O....wi
33.
Disana dibentangkannya kembali layar
Mereka membentangkan kembali layar


34.
Zili da seda gha wali tuku Su’i O....wi
34.
Disana dikayuhnya kembali pendayung
Mereka melanjutkan pelayaran dengan mendayung perahu
35.
Zili wali gha go mesi mite Su’i O....wi
35.
Telah berada kembali di tengah lautan
Merekapun sudah berada kembali di tengah laut
36.
Da Jo jo dia, Da Jo jo Dheso Su’i O....wi
36.
Semakin berpindah kemari tujuannya itulah ajaran kehidupan
Pelayaran mereka semakin dekat dengan tempat tujuan
37.
Zili nga gha wali dara zili Tana Raba Su’i O....wi
37.
Disana sudah terlihat daratan Raba (Sumbawa)
Merekapun melihat daratan Sumbawa
38.
Zili da kolu gha watu Su’i O....wi
38.
Disana telah diturunkan jangkar
Mereka mendarat dan menurunkan jangkar di tepian pantai Sumbawa
39.
Zili da pole gha laja Su’i O....wi
39
Disana digulungkannya kembali layar
Mereka kembali menggulung layar
40.
Da na na peti fao da na, na leghe lapi Su’i O....wi
40.
Berhenti semnetara dan beranak pinak
Mereka kembali berhenti dan beranak pinak di tempat itu.
41.
Zili da pase gha ne’e pare Su’i O....wi
41.
Disana telah ditanamnya bibit padi
Mereka mulai menanam padi
42.
Zili da maga gha nee Bu’e Raba Su’i O....wi
42.
Disana telah mengawini Gadis Raba (Sumbawa)
Beberapa diantara mereka mempersunting gadis - gadis Sumbawa
43.
Zili da teki gha wali watu Su’i O....wi
43.
Disana telah diangkatnya kembali jangkar
Mereka kembali ke perahu dan mengangkat jangkar
44.
Zili da webha gha wali laja
44.
Disana dibentangkannya kembali layar
Mereka membentangkan kembali layar
45.
Zili da seda gha wali tuku Su’i O....wi
45.
Disana dikayuhnya kembali pendayung
Mereka mendayung kembali perahu guna melanjutkan perahu
46.
Zili wali gha go mesi mite Su’i O....wi
46.
Disana telah berada kembali di tengah lautan
Lagi-lagi mereka berada di tengah lautan
47.
Lau nga gha wali dara zili Tana Wio
47.
Disana sudah terlihat daratan Wio (Sumba)
Merekapun melihat daratan Pulau Sumba
48.
Lau da kolu gha watu Su’i O....wi
48.
Disana telah diturunkannya jangkar
Mereka merapat ke pantai dan menurunkan jangkar untuk berlabuh.
49.
Lau da pole gha laja Su’i O....wi
49.
Disana digulungkannya kembali layar
Layar pada perahu merekapun digulung kembali
50.
Da na, na peti fao da na, na leghe lapi Su’i O....wi
50.
Berhenti sementara dan beranak pinak
Kembali mereka berhenti dan beranak pinak
51.
Lu da wito gha nee Bu’e Wio Su’i O....wi
51.
Disana telah mengawini Gadis Wio (Sumba)
Beberapa dari merekapun mengawini gadis-gadis Sumba
52.
Lau da webha gha wali laja
52.
Disana dibentangkannya kembali layar
Mereka kembali membentangkan kembali layar
53.
Lau da seda gha wali tuku Su’i O....wi
53.
Disana dikayuhnya kembali pendayung
Mulailah mereka berlayar dengan mendayung perahu
54.
Lau wali gha go mesi mite zili laja nga rie-rie Su’i O....wi
54.
Disana telah berada kembali di tengah lautan
Merekapun telah berada di tengah laut
55.
Lau da toja gha nuka di Roja Su’i O....wi
55.
Disana sudah berangkat menuju Roja (Flores)
Perahu yang ditumpanginya diarahkan menuju Pulau Flores
56.
Da jo jo dia, da jo jo dheso Su’i O....wi
56.
Semakin berpindah kemari tujuannya itulah ajaran kehidupan
Pelayaran telah dilakukan semakin mendekat ke tempat tujuan.
57.
Lau sei lau mai Su’i O....wi Su’i O....wi
57.
Siapakah gerangan yang ada di sana
Sebuah pertanyaan untuk mengetahui para leluhur yang melakukan pelayaran
58.
Lau Oba ne’e Nanga da se wae bata da meri Anakoda Su’i O....wi
58.
Disa Oba dan Nanga yang mengarungi lautan
Dari rombongan perahu yang ada terdapat pemimpin pelayaran yang namanya adalah Oba dan Nanga
59.
Lau da nga ghadara Tana Roja Su’i O....wi
59.
Di sana telah dilihatnya daratan Ota Roja (Pulau Flores)
Merekapun telah melihat dari kejauhan daratan Pulau Flores
60.
Lau da kolu gha watu Su’i O....wi
60.
Disana telah diturunkan jangkar
Mereka merapatkan perahu ke daratan dan menurunkan jangkar untuk mendarat
61.
Lau da pole gha laja Su’i O....wi
61.
Di sana digulungkannya kembai layer
Mereka menggulungkan layar
62.
Dia gha Wae Meze, Su’i O....wi
62.
Sudah berada di muara Wae Meze (sekarang muara kali Wae Mokel)
Adapun tempat yang didarati pertama kali adalah pada muara Wae Mokel
63.
Dia Tiwu da lima latu sa bhege da bheo pau, Su’i O....wi
63.
Sudah berada pada suatu tempat yang penuh dengan air yang jernih
Mereka melihat tempat tersebut merupakan tempat yang dituju dimana tampak air yang jernih dan berbagai binatang serta tampak daratan yang subur untuk menetap
64.
Dia da Nga Bata Neno wae, Su’i O....wi
64.
Sudah tiba pada suatu tepian
Mereka turun dan melihat berbagai keadaan yang menjanjikan kemakmuran
65.
Viki ba nono dhiri Lina ba pia kisa Su’i O....wi
65.
Kumpulan yangmengutamakan kemurnian dan kebenaran
Sebuah tempat yang mengarah pada suatu kebenaran yang diyakini
66.
Di da sao-sao ba mara talo Naku nuka ba mara ngaru, Su’i O....wi
66.
Suatu tempat yang berkelimpah-an makanan dan tiada akan habisnya walupun diambil terus menerus
Tempat yang diyakini dalam petunjuk dengan berbagai kelimpahan makanan yang tiada berkesudahan
67.
Dia da pale ne’e zala Pale da toke ne’e Zala sede, Su’i O....wi
67.
Berpencar menyusuri pantai dan menyusup ke dalam hutan serta pengunungan
Seiringan dengan lamanya waktu merekapun berpencar sesuai dengan persebarannya.
68.
Salapa sa lazi nee maghi Padhi teda ne’e peda mera, Su’i O....wi
68.
Dan mulai membagi daratan dengan batas menurut teritorial sukunya yang berkembang.
Mereka mulai menetap dan beranak pinak serta membagi daratan untukmdijadikan hak pusaka dengan batas-batas yang menjadi teritorial suku yang dapat disaksikan sampai sekarang.


4.2.3.Peninggalan Budaya Ngadha
Tabel 02
Peninggalan Budaya Ngadha
1.Kecamatan Aimere
No.
Nama Kampung Tradisional
Desa
Jarak dari Bajawa
Keterangan Potensi
1.
Belaraghi
Keligejo
47 km
Rumah adat Ngadha
Ngadhu (simbol leluluhur laki-laki)
Bhaga (simbol leluhur perempuan)
Kompleks megalith
Upacara-upacara tradisional
Permainan rakyat
Tari-tarian tradisional
Berbagai cerita rakyat
2.
Lopi Jo
Keligejo
50 km
Sama dengan kampung di atas
3.
Watu
Sebowuli
65 km
Sama dengan kampung di atas
4.
Maghilewa
Inerie
63 km
Sama dengan kampung di atas
5.
Jere
Inerie
61 km
Sama dengan kampung di atas
6.
Sewowoto
Waebela
70 km
Sama dengan kampung di atas
7.
Delawawi
Waebwla
73 km
Sama dengan kampung di atas
8.
Leke
Sebowuli
64 km
Sama dengan kampung di atas

2.Kecamatan Jerebuu
No.
Nama Kampung Tradisional
Desa
Jarak dari Bajawa
Keterangan Potensi
1.
Bena
Tiworiwu
19 km
Rumah adat Ngadha
Ngadhu (simbol leluluhur laki-laki)
Bhaga (simbol leluhur perempuan)
Kompleks megalith
Upacara-upacara tradisional
Permainan rakyat
Tari-tarian tradisional
Berbagai cerita rakyat dan legenda
2.
Luba
Tiworiwu
18 km
Sama dengan di atas
3.
Sarabawa
Tiworiwu
20 km
Sama dengan di atas
4.
Tololela
Manubhara
23 km
Sama dengan di atas
5.
Gurusina
Watumanu
26 km
Sama dengan di atas
6.
Suza
Manubhara
29 km
Sama dengan di atas
7.
Bowaru
Dariwali
23 km
Sama dengan di atas
8.
Buutolo
Dariwali
22 km
Sama dengan di atas
9.
Nage
Dariwali
25 km
Sama dengan di atas
10.
Wajo
Dariwali
26 km
Sama dengan di atas
11.
Nio
Dariwali
27 km
Sama dengan di atas
12.
Nekisi’e
Naruwolo
29 km
Sama dengan di atas
13.
Dokaredu
Naruwolo
29 km
Sama dengan di atas
14.
Deru
Nenowea
39 km
Sama dengan di atas
15.
Pali
Nenowea
43 km
Sama dengan di atas

3.Kecamatan Golewa
No.
Nama Kampung Tradisional
Desa
Jarak dari Bajawa
Keterangan Potensi
1.
Wogo
Ratogesa
22 km
Rumah adat Ngadha
Ngadhu (simbol leluluhur laki-laki)
Bhaga (simbol leluhur perempuan)
Kompleks megalith
Upacara-upacara tradisional
Permainan rakyat
Tari-tarian tradisional
Berbagai cerita rakyat dan legenda
2.
Wogo olo
Ratogesa
24 km
Potensi megalith
3.
Gisi olo
Ratogesa
23 km
Potensi megalith
4.
Lokalina
Doka
26 km
Sama dengan kampung Wogo
5.
Wajamala
Doka
28 km
Sama dengan kampung Wogo
6.
Be’a
Rakateda I
21 km
Sama dengan kampung Wogo
7.
Jeru
Wogowela
44 km
Sama dengan kampung Wogo
8.
Bawarani
Wogowela
45 km
Sama dengan kampung Wogo

4.Kecamatan Bajawa
No.
Nama Kampung Tradisional
Desa
Jarak dari Bajawa
Keterangan Potensi
1.
Bela
Beja
15 km
Rumah adat Ngadha
Ngadhu (simbol leluluhur laki-laki)
Bhaga (simbol leluhur perempuan)
Kompleks megalith
Upacara-upacara tradisional
Permainan rakyat
Tari-tarian tradisional
Berbagai cerita rakyat dan legenda
2.
Sukatei
Beja
16 km
Sama dengan Bela
3.
Namu
Beja
16 km
Sama dengan Bela
4.
Ngadha
Bajawa
3 km
Potensi Megalith
5.
Nua Bawa
Be’iwali
16 km
Potensi Megalith
6.
Ekoheto
Wawowae
17 km
Potensi Megalith
7.
Belu olo
Ubedolumolo
11 km
Potensi Megalith
8.
Langagedha olo
Beja
16 km
Potensi Megalith
9.
Warusoba olo
Be’iwali
6 km
Potensi Megalith




5.Kecamatan Bajawa Utara
No.
Nama Kampung Tradisional
Desa
Jarak dari Bajawa
Keterangan Potensi
1.
Menge
Wololiko
15 km
Rumah adat Ngadha
Ngadhu (simbol leluluhur laki-laki)
Bhaga (simbol leluhur perempuan)
Kompleks megalith
Upacara-upacara tradisional
Permainan rakyat
Tari-tarian tradisional
Berbagai cerita rakyat dan legenda
2.
Pogo bani
Wololika
17 km
Potensi megalith
3.
Gou Paru
Wololika
18 km
Sama dengan kampung Menge


Simbol – Simbol Budaya Ngadha
1.Ngadhu
Ngadhu adalah monumen pengganti rupa leluhur lelaki yang melambangkan persatuan dan kesatuan di dalam satu kestuan hukum adat yang berdasarkan keturunan darah (geneologis) yang dikenal dengan Woe/Klan.
Masyarakat budaya Ngadha atau yang sering disebut penganut budaya Reba berkeyakinan tinggi bahwa Ngadhu adalah orang tua/leluhur menjadi perantara kehidupan keturunan menuju Dewa. Selain itu Ngadhu merupakan kenangan kejayaan seorang leluhur yang menjadi panutan atau dalam bahasa Ngadha disebut dengan kata Sadho dan dalam suatu klan merupakan satu kesatuan yang berdiri penuh untuk mengatur rumah tangga woenya sendiri (otonomi yang kuat). Dalam hal ini masyarakat Ngadha sangat menjunjung Ngadhu yang merupakan reinkarnasi orang tua/leluhur yang harus dihormati supaya hidupnya selamat dan bahagia. Bentuk Ngadhu seperti payung yang beratapkan alang-alang dan mengerucut ke langit yang artinya bahwa masyarakat Ngadha juga percaya akan adanya Tuhan (Lobo wi soi Dewa). Bangunan ini bertiang satu dan berukiran pada batang (tiang) dimana ukiran pada batangnya terdiri dari 3 (tiga) bentangan penampang ukiran (Nai Telu) yang juga memiliki arti tersendiri yakni didalam masyarakat Ngadha masih mempertahankan kasta atau rang, yang dikenal dengan 4 (empat) rang yaitu : Ga’e, Ga’e Kisa, Ga’edhiri dan Ho’o.
2.Bhaga
Bhaga merupakan monument pengganti leluhur perempuan yang merupakan pasangan dari Ngadhu. Dalam masyarakat Ngadha dikenal ungkapan yang berbunyi : ana Sawa Ba’a Lau Lewa Bhaga, Sawa da Ba’a To’o Ngi’i Go Lobo da Milo Olo artinya Keturunan yang bernaung di bawah naungan Leluhur Pokok Perempuan, pasti bangkit berkegiatan penuh keberhasilan yang membahagiakan karena Leluhur Pokok Perempuan itu berlatar belakang kesucian yang agung adanya. Bhaga menunjukan sebagai salah satu ciri budaya Ngadha yang Matrilineal. Bentuk Bhaga sama dengan Rumah Adat (Sa’o). Sarung kesuburan dari leluhur perempuan atau dikenal dengan istilah Kodo Su’a : Sangkar Keselamatan yang merupakan lambang berkelnjutan warisan garis keturunan ibu. Dalam hal ini juga menggambarkan kewibawaan seorang ibu (Finega’e Neka) yang juga merupakan jatidiri masyarakat budaya Ngadha/penganut budaya Reba. Bhubu Mu Kaja Maza istilah dalam bahasa Ngadha yang mengarah pada sebuah keyakinan bahwa leluhur perempuan merupakan seorang pelindung.
3.Peo
Peo adalah batu yang ukurannya 1 (satu) meter. Di lihat dari fungsi lambangnya peo hampir sama dengan Ngadhu, hal ini diyakini bahwa peo merupakan leluhur yang lebih tua dari Ngadhu. Hal ini dikarenakan sebelum Ngadhu yang terbuat dari kayu, sebelumnya leluhur yang terdahulu telah menggunakan batu sebagai Ngadhu. Keyakinan ini diungkapkan dalam ungkapan adat : Ngadhu Wai Watu, Bhaga wai Tana. Selain sebagai gambaran leluhur yang tertua dari Ngadhu, Peo merupakan tempat untuk menambatkan tali hewan korban yang disatukandari Ngadhu sebagai persembahan yang tertinggi kepada leluhur dan Dewa.
4.Sa’o
Sa’o adalah sebuah bangunan komunal yang berfungsi sebagai alat pemersatu di dalam suku dan tingkat kemajuan hidup manusia di dalam suku. Sa’o ini dimaksudkan menggambarkan persatuan dan kebersamaan hidup dalam kelompok sosial masyarakat adat (sebuah suku). Selain sebagai pemersatu sebuah suku, Sa’o juga menunjukan jatidiri para penghuninya dan para anggota suku yang merupakan personifikasi leluhur karena sa’o biasa dihubungkan dengan sebuah nama yakni nama leluhur dari anggota suku yang bersangkutan sebagai implikasi sejarah suku yang selalu mengingatkan anggota suku tentang sejarah perjalanan suku.
Dalam masyarakat budaya Ngadha dikenal ada beberapa jenis rumah adat sesuai statusrumah di dalam sebuah suku yakni :
Sa’o Meze Saka/Peka Pu’u
Sa’o Meze Saka/Peka Lobo
Sa’o Wua Gha’o Peka Pu’u dan Peka Lobo
Sa’o Kaka Peka Pu’u, Sa’o Kaka Peka Lobo dan Sa’o Kaka Wua gha’o
Sa’oDhoro/Dai/Sipo/Padhi hae duri tewu
Pembagian jenis sa’o seperti ini dikaitkan dengan pembagian tugas dan fungsi dari masing-masing jenis sa’o yang harus diemban oleh para pemiliknya. Peka Pu’u adalah Kobho Bhaga atau disebut juga dengan nama Sa’o Teke Kobho Bhaga, dimana semua penghuninya/pemiliknya memiliki hak dan kewajiban yang sama atas segala warisan kekayaan yang menjadi milik dari sa’o peka pu’u. Peka Lobo adalah Kobho Madhu atau disebut juga sa’o Teke kobho madhu atau disebut juga sa’o Teke kobho Madhu dimana pemiliknya mempunyai hak dan kewajiban yng sama atas segala warisan kekayaan milik sa’o peka lobo dan sa’o Wua Gha’o adalah sa’o yang berperan sebagai penengah, yang menjembatani semua kepentingan dalam sebuah suku baik kobho bhaga maupun kobho madhu karena peran sa’o wua gha’o ini digambarkan sebagai ”Wua papa Zua – Gha’o Mai Pali” yang diartikan sebagai perngkul. Semua silang sengketa yang terjadi dalam sebuah suku akan diselesaikan secara kekeluargaan dengan difasilitasi dari sa’o wua gha’o. Selain itu sa’o wua gha’o juga memiliki peran sebagai tujuan bersama baik dari sa’o peka pu’u maupun sa’o peka lobo yang disimbolkan dengan sebuah Peo. Sa’o Kaka adalah sa’o-sa’o pendukung yang dikembangkan menurut jumlah manusia dari masing-masing rumah pokok (Sa’o Meze) baik peka pu’u, peka lobo maupun wua gha’o.
Sa’o Dhoro adalah sa’o-sa’o turunn paling bahwah baik dari sa’o meze maupun sa’o kaka yang diperuntukan bagi anggota suku yang telah berkembang banyak guna mengelola segala warisan kekayaan yang telah dibagi secara merata yang disebut Padhi Hae Duri Tewu. Pengelolaan warisan diarahkan untuk pengembangan kehidupn suku yang lebih baik khususnya dalam bidang ekonomi yang disebut Segha Kodo Manu – Regha Ga’a Ngana.
5.Watu Laba(Watu Lewa/Lengi)
Monumen seorang pemimpin yang melambangkan seorang yang menjadi penginisiatif untuk membangun kampong.

4.2.5. Upacara-Upacara Tradisional Etnis Budaya Ngadha
1.Upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia dari lahir sampai dewasa
Geka Naja
Upacara yang dilaksanakan bertujuan untuk mensyukuri kelahiran anak yang ditandai dengan Poro Puse (memotong tali pusat) serta pemberian nama
Lawi Ana
Upacara yang dilaksanakan bertujuan untuk mengesahkan kehadiran anakdalam keluarga besar dan mensyukuri kelahiran anak yang ditandai dengan penyembelihan babi untuk memberi makan kepada leluhur.

Kiki Ngi’i
Upacara yang dilaksanakan bertujuan untuk mendewasakan seorang gadis sebelum melanjutkan ke jenjang yang lebih lanjut.
2.Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan tradisional khususnya untuk di sa’o/ kawo api melewati beberapa tahap :
Beti tei tewe da moni neni
Pada tahapan ini merupakan tahapan awal/umum yang biasa dialami oleh setiap pasangan berkaitan dengan proses jatuh cinta. Pada jaman dahulu proses beti tei ini biasanya terjadi pada event-event tradisional.
Beku mebhu tana tigi
Beku mebu tana tigi adalah tahapan umum lanjutan dari proses beti tei tewe de moni neni oleh calon mempelai pria yang bertujuan untuk melakukan pendekatan dengan gadis idaman dan keluarga/calon besan yang bersangkutan. Pada tahap ini laki-laki mengadaptasi diri dengan gadis dan keluarga.
Naa boro/sezu
Setelah merasa cocok maka laki-laki yang bersangkutan akan mendiskusikan dengan pihak keluarga tentang kecocokan untuk menjalin hubungan perkawinan dengan gadis idaman yang dimaksud. Selanjutnya akan mengirim delegasi untuk melakukan lamaran ke rumah mertua gadis. Dalam tahap ini biasanya akan mendiskusikan waktu dan proses lanjutan.
Tege tua manu/idi manu nio
Setelah naa boro maka akan dilanjutkan dengan tege tua manu (membawa ayam dan moke/tuak putih) ke rumah calon istri. Pada tahapan ini laki-laki bersama rombongan dan keluarga beriringan menuju rumah calon besan.
Seza /buri peka naja logo bei ube/sui tutu maki Rene
Setelah tege tua manu akan dilanjutkan dengan zeza yang merupakan tahapan puncak dalam mengesahkan pasangan wanita dan laki-laki untuk hidup berdampingan sebagai suami dan istri.
3.Upacara Kematian
Upacara kematian dibagi dalam 2 (dua) bagian yang berbeda yakni :
Mata Ade
Upacara Mata Ade ditujukan untuk mengungkapkan kesedihan dan ucapan selamat jalan terhadap orang yang meninggal, khususnya untuk orang/jasad/mayat yang mati bukan karena kecelakaan (mati yang dikarenakan penyakit menurut versi medis dan analisa ilmiah). Sebelum melaksanakan acara penguburan bagi keturunakan yang mewarisai budaya neku/wajib neku maka akan melaksanakan acara neku untuk mengungkapakan rasa hormat dan sebagai ucapan perpisahan yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban yakni babi dan kerbau.
Mata Golo
Mata Golo adalah acara yang ditujukan untuk mengungkapkan kesedihan dan ucapan selamat jalan terhadap orang yang meninggal. Pada acara ini bagi orang yang mata golo adalah upacara khusus untuk orang yang meninggal karena kecelakaan (mati yang dikarenakan bukan penyakit menurut versi medis atau analisa ilmiah).
Pada tahapan selanjutnya keo redo dan nulu. Nulu ditujukan untuk mengungkapan rasa sedih dan sebagai ucapan perpisahan yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban ykni babi, ayam dan kerbau.
4.Upacara Pembuatan Rumah Adat
Upacara tau sa’o sampai ka sa’o dilalui beberapa tahap yaitu :
Zepa
Zepa Kolo : mempersiapkan alat ukur yang terbuat dari bilah-bilah bambu (kolo), untuk digunakan pada saat mencari bahan-bahan sa’o. Kolo dibuat sebanyak 2 (dua) batang yang satu disebut Kolo Dongo dan Kolo Loza. Kolo Loza berfungsi untuk dibawa ke setiap tempat untuk mengukur bahan sa’o yang dipotong dan Kolo Dongo akan tetap berada di rumah (sa’o) pu’u sebagai antisipasi bila terjadi sesuatu dengan kolo loza misalnya hilang atau patah.
Ka Kolo/Basa Mata Taka
Upacara yang dilakukan sebagai awal dari proses pembuatan rumah adat. Acara ini dilakukan setelah epa (mengukur ukuran rumah) yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan meminta dampingan pada Tuhan dan leluhur bagi peralatan yang akan digunakan dalam bekerja di hutan selama pencaraian material/ramuan pembuatan rumah adat. Dalam acara ini biasanya dilakukan acara penyemelihan hewan kurbn (ayam/babi) dan dilihat hatinya sesuai dengan kebiasaan untuk melihatn urat dari hati hewan kurban yang dkurbankan. Acara ini biasanya dipimpin oleh ketua suku atau orang yang dituakan dalam suku. Dalam acara akan dihadiri oleh seluruh ana sao dan ana woe guna mendukung pencarian material rumah dan proses pembangunan rumah selanjutnya.
Gebhe Puu Kaju
Setelah semua bahan (material) rumah selesai didapat/terkumpul maka akan dilakukan acara pembasmian tunas-tunas kayu yang kayunya telah diambil untuk materila rumah adat baru. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan orang Ngadha bahwa pohon yang telah diambil untuk material rumah tumbuh(bertunas) maka akan membawa sial bagi penghuni dan ana sa’o (anggota rumah/suku).
Bama Ngaru Kaju
Ngaru dipahami sebagai roh yang hidup. Hal ini dikaitkan dengan semua bahan sa’o yang telah disakralkan sebagai perwujudan atau personifikasi leluhur para anggota suku/anggota sa’o yang akan dibangun karena datangnya bahan sa’o dari berbagai tempat menuju tempat persiapan akhir pembangunannya dianggap sebagai datangnya para leluhur yang telah diundang oleh anggot suku lewat berbagai upacara dari setiap tahapan yang telah dilakukan.
Weti
Weti adalah proses untuk memahat atau relief atau simbol-simbol tradisional orang Ngadha. Adapun beberapa relief untuk membuat motif/gambar pada penampang Ngadhu, Bhaga dan sa’o yakni :
Manu (ayam) : melambangkan kelantangan akan kenyataan dan kebenaran. Hal ini dimaksudkan bahwa semua pemilik sa’o atau anggota suku harus berani menyuarakan kebenaran dengan jujur dan lantang seperti apa yang disebut dengan istilah Kako moe manu jago.
Jara (kuda) : melambangkan kekuatan/keperkasaaan sekalihus kelantangan yang senantiasa mendorong para anggota suku untuk terus berusaha membangun sukunya guna menuju kejayaan bersama yang disebut dengan itilah Ie moe jara ngai. Selain itu gambr kuda (jara) juga menggambarkan kekuatan para leluhur yang selalu melindungi para anggota suku atau anggota rumah tersebut. Bila dicermati secara seksama, penampilan gambar kuda dan ayam biasanya menghadap ke dalam sa’o. Dalam hubungannya dengan konsep kejujuran, kebenaran dan kebersihan, maka posisi gambar seperti ini sebenarnya mau menceritakan bahwa segala sesuatu yang buruk yang akan mengganggu persatuan dan kesatuan dalam suku harus ditendang dan disingkirkan untuk tetap melahirkan kebaikan bersama. Pengertian ini senantiasa tergambar dalam ungkapan : gai ne’e wai pali, viki wi nono dhiri, lina wi pia kisa, modhe wi kono one.
Zegu Kaba (tanduk kerbau) : melambangkan kekayaan terutama hewan besar yang dimiliki oleh suku. Pembuktian akan kekayaan suku itu biasanya tampak pada jumlah hewan khususnya kerbau yang dikorbankan pada saat pelaksanaan pesta sa’o yakni ka sa’o. Pada jaman dulu, kekayaan ini juga dibuktikan dengan jumlah hewan yang banyak dan padang gembala suku (kuru kaba/kopo kaba).
Taka dan Bela : adalah perhiasan telingan yang terbuat dari emas, perbedaannya pada ukuran dan peruntukannya. Taka berukuran lebih besar dan biasa dipakai oleh kaum bangsawan laki-laki, sedangkan Bela berukuran lebih kecil dan hanya dipakai oleh kaum wanita. Baik taka maupun bela melambangkan kekayaan khususnya emas yang dimiliki anggota suku.
Tara Tawu/Kisa nata :
Melambangkan perkembangan manusia yang bermula dari sepasang leluhur.
Torengan/Nuka Nua
Nuka nua adalah tahapn atau proses membawa semua material sa’o dari tempat persiapan akhir menuju ke dalam kampung, bersama seluruh penghuni kampung yang diiringi dengan tarian Kelo ghae, Go Laba dan Jai dengan mengintari seluruh pelataran kampung dan kemudian menuju tempat sa’o yang telah dipersiapkan secara baik.
Tere Leke/Tere Pudha
Basa Leke : setelah mengelilingi kampung dalam acara roa dhea, maka dilanjutkan dengan acara Mate Ngana Basa Leke yaitu pengorbanan hewan korban (babi) dalam rangka menyucikan semua meterial sa’o yang akan dibangun terutama leke sebagai bahan dasar sekaligus pemberian makan kepada leluhur.
Mula Lekei : adalah pemasangan tiang sa’o (leke) sebanyak 4 (empat) buah yang terbuat dari kayu hebu dengan bantuan alat ukur yang terbuat dari bambu yang disebut Suru Nuba. Sebelum leke-leke dipancangkan pada tempatnya masing-masing terlebih dahulu dibasuh dengan darah babi korban yang sudah didoakan dalam acara mate ngana.
Se’a Tenga : Tenga adalah balok besar penghubung antar leke. Se’a tenga leke adalah pemasangan balok besar (tenga) untuk menghubungkan atau mengikat antar leke.
Dolu/fedhi wae/dolu wae : menentukan rata atau tidaknya leke yang telah dipasang dengan mericiki air pada pertengahan tenga, bila jatuhnya atau mengalirnya air tegak lurus dari atas ke bawah berarti posisi leke dan tenga yang telah dipasang sudah pas.
Soka Leke : Soka leke pada dasarnya adalah sebuah maklumat atau pernyataan dari para pemilik sa’o atau anggota suku kepada khalayak tentang kesanggupan anggota suku serta proses yang telah dilalui sesuai dengan tahapan-tahapan dalam membangun sa’o mereka.
Remi Ube/Kobo Ube
Pemasangan ube sa’o secara keseluruhanselain pintu atau pene sa’o dengan urutan sebagai berikut : Ulu-wewa , kemo-pali (belakang-depan, kiri-kanan). Ulu-wewa melambangkan mama atau induk yang melahirkan, sedangkan kemo-pali melambangkan anak yang dilahirkan karena itu sebagai mama harus dipasang terlebih dahulu sebelum anak.
Wa’e Sa’o
Gebhe yiru (loteng) adalah bambu-bambu khusus dengan kualitas baik yang dipasang untuk menghubungkan tudhi dhoi dan berfungsi sebagai tempat pijakan lado lewa (tiang nok) sa’o. Kualitas baik dari tudhi dhoi harus ditentukan oleh beberapa persyaratan sebagai erikut : bambu harus berumur tua dan berukuran besar pada kedua ujungnya harus tepat pada buku yang dikenal dengan istilah luki buku pali, keadaan bambu tidak boleh retak atau pecah dan harus dicari oleh orang kepercayaan dalam suku yang menjadi panutan dan tidak bercela dalam segala segi kehidupannya. Hal ini memiliki makna bahwa sa’o yang dibangun merupakan personifikasi leluhur yang penuh dengan segala kebesaran dan keagungan yang sering digambarkan dengan istilah ghubu meze wolo (atap bagaikan gunung) menjadi tidak tercela. Dengan kata lain kesucian, keperkasaan dan keagungan para leluhur perlu terus dijaga dan diwariskan sampai ke anak cucu. Pemasangan tiang nok (lado lewa) yang akan memberikan warna atau bentuk secara keseluruhan terhadap atap (ghubu) sa’o. Keagungn ghubu sa’o yang dikenal dengan istilah ghubu mewe wolo sangat dientukan oleh tinggi rendahnya lado lewa yang dipasang. Semakin tingginya lado lewa yang dipasang yang tentunya disesuaikan dengan besar kecilnya badan sa’o maka secara lahiriahpun sa’o akan kelihatan semakin angun. Pali redhi adalah bilah-bilah bambu berukuran sedang dan kuat yang dipasang secara menyilang pada sisi depan dan belakang lado lewa yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan posisi atap.
Sok soku dolu adalah balok-balok huk berupa bambu-bambu berukuran sedang yang tua dan kuat yang dipasang pada ke-4 sudut sa’o dengan posisimengerucut dengan ujung-ujung bertemu pada ujung kiri dan kanan atas dari lado lewa
Teo zo adalah bambu-bambu bulat yang ukurnnya sedikit lebih besar dari soku dolu dipasang pada ujung ke-4 soku dolu dengan menghubungkan satu sama lain. Teo zo selain berfungsi sebagai perekat soku dolu satu sama lain juga berfungsi sebagai landasan pijak Soku Bhoda.
Soku bhoda adlah bambu-bambu bulat berukuran lebih kecil dari sou dolu yang dipasang secara merata pada semua sisi atap di antara soku-soku dolu dengan jarak 5-10 yang berfungsi sebagai landasan dasar dari alang-alang (keri).
Soku Paba adalah bilah-bilah bambu yang dipasang secara melintang di luar dari soku boda dan soku dolu yang diperkuat dengan tali-tali ijuk dan berfungsi sebagai tempat tambatan alang-alang (keri).
Walu soku adalah saat-saat senggang menjelang tahapan mengatapan sa’o (sewo Sa’o) khususnya pada malam hari yang selalu diisi dengan atraksi tarian hiburan Teke. Teke adalah tarian masal dan lagu yang berisikan syair-syair tentang kondisi atau berbagai hal yang berhubungan dengan suku yang sedang membangun sa’o tersebut. Teke dibagi dalam 2 bagian yaitu bagian pembukaan disebut Kelo ghae.
Pelapisan bubungan sa’o dengan alang-alang sebanyak 30 ikat yang dikenal dengan sebutan Peju zeta nedhu uju bulu telu. Angka 30 merupakan simbol dari 3 tahapan kehidupan manusia yang memberikan harapan dan semangat yakni anak-anak, rmaja dan dewasa sebagai puncak kejayaan hidup manusia. Dalam pembangunan sebuah sa’o khususnya sa’o yang bernama, kedewasaannya selain digambarkan melalui simbol ini juga ditampilkan melalui gambar atau ukiran yang terpampang di dalam sa’o seperti kuda dan ayam baik pada kawa pere, ube ataupun pada ngani lewa. Untuk kedewasaan sebuah sa’o yang berkaitan dengan ukiran-ukiran juga simbol 30 yang telah dikemukakan di atas terdapat ungkapan sebagai berikut : Dia sadho ga Inerie, Leba gha suri laki. Kako gha moe manu jago, Ie ga sama jara ngai.
Tege Sua Sa’o dan Kawa Pere
Tahapan ini adalah proses lanjut yg dilaksanakan setelah pembangunan atap rumah selesai yakni memasukkan symbol-simbol penting yang merupakan lambing dan identitas rumah yakni Sua Sa’o (lambang hak atau yang disebut juga dengan sertifikat tradisional) dan Kawa Pere (lambang kebesaran, kewibawaan sesuai dengan status rumah adat di dalam sebuah suku).
Ka Sa’o
Acara puncak sebagai pentabisan rumah adat yang baru sebagai pertanda bahwa rumah adat ini dinyatakan sehat seseuai dengan ketentuan adat untuk dihuni oleh Ana Sa’o. Pada acara ini biasanya dipentaskan tarian jai Laba Go dan diikuti dengan penyembelihan kerbau dan babi.
Tahapan ini akan dihadiri oleh semua Ana Woe, Wai Laki, Lobo Tozo tara dhaga kerabat dan hubungan perkawinan.
5.Upacara Pembuatan Ngadhu dan Bhaga
Pai tibo taki laza Ngadhu
Dimulai dari loka tiga sewu untuk merencanakan dalam rangka pembuatan Ngadhu dan tempatnya di rumah pokok yaitu upacara Pai Tibo untuk menentukan pohon hebu mana yang akan diambil guna dijadikan btang Ngadhu.
Taki hebu
Gedho lako sebuah tahapan yang dilakukan setelah upacara pai tio yakni beberapa orang dari anggota diutus ke hutan untuk mencari pohon hebu. Setelah mendapat hebu yang ditunjuk oleh tibo akan ditandai dengan pei wako/gelaga guna menandai bahwa pohon tersebut telah menjadi incaran suku yang bersangkutan.
Ida Manu Nio
Idi tua manu/membawa moke dan ayam kepada pemilik tanah yang ditumbuhi pohon hebu dan po’o (memasak nasi bambu) dengan ramuan yakni kelapa merah, babi merah, beras merah sebagai persembahan kepada leluhur baik leluhur kita maupun leluhur dari pemilik pohon hebu.
Pebhe telo dan Paga gala ga’e
Pebhe telo dan Pega gala ga’e/Bhuja Kawa adalah proses lanjutan dari proses di atas. Bhuja Kawa akan dipegang oleh orang yang berasal dari sa’o wua ghao dan keluar dari rumah pokok suku yakni Sa’o Peka Pu’u. Hal ini juga merupakan hasil yang dicapai melalui kesepakatan dari dalam anggota suku. Upacara ini ditandai dengan penyembelihan hewan kurban sebelum kelur dari rumah adat dan dagingnya dimakan bersama, adapun hewan kurban yang dibantai adalah babi dan ayam. Pemegang Bhuja Kawa akan keluar dari rumah dan diikuti oleh peserta dari Sa’o Saka/Peka Puu dan Peka Lobo beserta One Woe.
Pebhe tlo/Pega gala Ga’e/Bhuja Kawa adalah ritual pengesahan secara simbolis untuk menandai pohon Hebu (bakal material batang Ngadhu) menjadi milik bagi woe (suku) yang bersangkutan.
Kela Nio
Kela Nio adalah upacara untuk membelah kelapa yng airnya diyakini dapat memberikan kesejukan bagi roh leluhur yang telah diundang kehadirannya ke dalam pohon Ngadhu. Dengan tahapan ini masyarakat budaya Ngadha berkeyakinan bahwa pohon yang akan digunakan dalam pembangunan Ngadhu menjadi tempat yang sejuk dan sebagai wadah hunian yang nyaman bagi roh Yang Maha Kuasa dan leluhur.
Pai Tibo Taki Weki
Adalh suatu upacara khusus untuk menetukan orang yang saka Ngadhu yakni orang yang berperan sebagai ana koda (nakoda) yang mna orang yang terpilih melalui petunjuk ritual tibo ini akan berlaku sebagai penunggang pada saat batang Ngadhu digotong ke dalam kampung. Orang-orang tersebut adalah orang pilihan yangmana dalam pengambilan perannya tidak asal-asalan agar tidak membawa petaka bagi mereka. Mereka yang berperan untuk saka Ngadhu adalah generasi yang memiliki garis lurus dari penghuni Peka/saka pu’u dan penghuni peka/saka lobo. Kriteria orang yang akan saka Ngadhu adalah harus orang berkasta/rang Ga’e atau apabila tidak ada yang orang Ga’e maka akan dimabil dari orang kasta Ga’e Kisa.
Pogo Ngadhu
Pogo ngadhu adalah tahapan upacara untuk pembuatan Ngadhu selanjutnya yaitu untuk penggalian dan penebangan kayu untuk membangun Ngadhu yang telah didapat melalui petunjuk tibo. Penggalian biasanya diawali dengan gong gendang mulai dari tempat berangkat sampai pada tempat pohon Ngadhu akan digali. Adapun cara penggalian harus disertai dengan 3 (tiga) cabang akar dan kayu tersebut harus bercabang dua. Dalam penggalian akan dilakukan penyembelihan hewan kuran yakni babi dan ayam untuk persembahan kepada Yang Maha Kuasa dan leluhur.
Gebhe Pu’u Ngdhu
Setelah pohon Hebu (material pembuat batang Ngadhu) selesai digali maka akan dilakukan acara pembasmian tunas-tunas kayu yang dimana kayunya telah diambil untuk materila Ngadhu yang baru. Pembasmian ini berkaitan dengan kepercayaan orang Ngadha apabila pohon yang telah diambil untuk materila rumah tumbuh (bertunas) maka akan membawa sial bagi ana woe (anggota suku).
Bama Ngaru Ngadhu
Ngaru dipahami sebagai roh yng hidup, hal ini dikaitkan dengan semua pencarian dan pogo Ngadhu yang telah disakralkan sebagai perwujudan atau personifikasi leluhur para anggota suku dari Ngadhu yang akan dibangun karena datangnya pohon Ngadhu dari hutan menuju tempat persiapan akhir pembangunannya dianggap sebagai datangnya leluhur laki-laki yang telah diundang oleh anggota suku lewat berbagai upacara dari setiap tahapan yang telah dilakukan.
Weti Ngadhu
Proses pemahatan (weti) untuk pembuatan ukiran pada batang Ngadhu akan dilakukan setelah tiba di empat yang ditentukan (sebelum masuk kampung).persyaratan dalam pengukiran Ngadhu yakni terdiri dari 3 (tiga) penampang Nay telu Wutu hemo. Lamanya proses pengukiran disesuaikan dengan persyaratan yakni satu hari satu penampang. Penjelasan arti dari motif ukiran yang akan dipahatkan pada Ngadhu adalah sama dengan motif ukiran yang dipahat pada penampang Sa’o (Rumah adat).
Koe Gemo/Hoa Ngadhu
Koe Hoa Ngadhu adalah tahapan lanjutan yaitu menggali guna mempersiapkan lubang untuk mengisi pangkal pohon Ngadhu. Dalam penggalian bentuk lubangnya harus disesuaikan dengan bentuk akarnya.
Bhei Ngadhu Nuka Nua
Bhei Ngadhu adalah upacara menggotong Ngadhu yang telah diukir di luar kampung untuk memasuki kampung. Ngadhu digotong beramai-ramai oleh semua ana woe (anggota suku) yang disaksikan oleh seluruh isi kampung. Di atas batang Ngadhu yang digotong akan ditunggangi oleh 2 (dua) orang yang sesuai dengan petunjuk tibo yang telah dibuat sebelumnya atau orang yang berperan sebagai Saka Ngadhu (Saka Pu’u dan Saka Lobo). Ngadhu yang dipikul/digotong tersebut akan ditaruh di samping bhaga atau tempat akan dibangunnya lambang perempuan.
Pada upacara ini dimeriahkan dengan tari-tarian yang diiringi musik tradisional (Laba Go) dan tarian Soka Ngadhu yang ditutup dengan penyembelihan hewan kuran babi dan ayam untuk persembahan kepada leluhur dan Yang Maha Kuasa.
Mula Ngadhu
Mula/Pusi Ngadhu adalah tahapan untuk memasukan pangkal Ngadhu ke dalam lubang yang telah disiapkan. Penanaman Ngadhu didahului dengan memasukan anjing merah, babi merah, ayam merah dan beras merah ke dalam cabang-cbang lubang yang telah disiapkan, hal ini adalah simbol untuk memelihara kelangengan usaha One woe (anggota suku) yangakan dijaga oleh roh leluhur yang akan dibangun (ngadhu). Pada pangkal batang Ngadhu (Pu’u Ngadhu) ada batu-batu yang akan disusun secara rapi berbentuk lingkaran sebagai simbol persatuan anggota suku (One woe) yng saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Persatuan yang diwujudkan dengan kumpulan batu ini dilukiskan dengan ungkapan adat yang menggambarkan keakraban dan kegotongroyongan yakni Pio Bodha ne’e Sipo, Bopo Bodha ne’e Da Dho’o yang bertujuan untuk mendukung kekuatan Ngadhu. Pada bagian lain yakni tepat di belakang Ngadhu akan ditanam juga satu buah batu yang tingginya mencapai satu meter (yang dinamakan Peo) dan fungsinya untuk menyatukan ujud pada saat penyembelihan hewan kurban. Peo diyakini kan menjadi tujuan dari Ngadhu dan Bhaga yang proses pembangunannya disatukan dengan pembangunan Ngadhu. Upacara Mula Ngadhu akan ditutp dengan penyembelihan hewan kurban babi dan ayam sebagai persembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan leluhur.
Tau Bhaga
Pembuatan Bhaga atau lambang leluhur perempuan milik suku hampir sama dengan pembuatan rumah adat. Perbedaan antara bhaga dengan rumah adat adalah ukuran Bhaga yang lebih kecil dengan ukiran ular sedangkan ukiran lainnya sama dengan ukiran ada rumah adat. Ukiran sawa/ular menunjukan kewibawaan seorang perempuan yang dapat menjadi model dan contoh bagi anggota suku serta kekayaan yang dimiliki sebagai sarana kemakmuran. Proses pembangunannya sama dengan rumah adat dengan bahan-bahannya adalah papan, alang-alang, bambu, ijuk dan Maghi yang menurut fungsinya sama dengan Sa’o. Bhaga tidak menjadi tempat tinggal hanya sese waktu tempat ini (bhaga) digunakan menjadi tempat upacara adat (Ka Kobo Bhaga) sebagai tempat untuk mempersatukan persembahan dan ujud kepada Yang Maha Kuasa.
Woe Hoza
Adalah upacara setelah penanaman Ngadhu sebelum pembuatan atap Ngadhu yakni penyembelihan kerbau sebagai tanda berdirinya Ngadhu (pengganti rupa leluhur laki-laki) di tengah kampung. Woe Hoza ini sebagai pertanda terwujudnya kehadiran leluhur di tengah anggota suku (one woe) dalam wujud Ngadhu.
Tau Ubu Ngadha
Adalah tahapan pembuatan atap Ngadhu sebagai proses paling akhir sebelum upacara Ka Ngadhu. Atap Ngadhu dibuat berbentuk kerucut dengan sudut yang mengarah ke langit yang mana arah sudut ini diyakini sebagai hubungan antara leluhur dan Tuhan yang dalam ungkapan bahasa Bajawa adalah Lobo wi Soi Dewa. Pembuatan atap seperti ini diilhami oleh masyarakat budaya Ngadha bahwa Ngadhu merupakan jembatan perantara hubungan manusia dengan Penguasa Langit dan Bumi. Keyakinan ini terwujud dalam ungkapan bahasa Ngadha Mula Ngadhu Tau Tubo Lizu Kabu Wi Role Nitu Lobo Wi Soi Dewa.
Ka Ngadhu
Ka Ngadhu merupakan upacara atau pesta syukuran puncak karena Ngadhu (pengganti rupa leluhur laki-laki) sudah selesai dibangun.
6.Upacara Reba
Bui Loka
Bui Loka adalah upacara awal menjelang upacara Reba (upacara Tahun Baru Tradisional). Upacara ini biasanya dilakukan oleh setiap woe (suku) pada suatu tempat khusus di luar kampung atau yng dikenal dalam bahasa Ngadha adalah Loka. Dalam acara ini dihadiri oleh seluruh anggota suku (woe) untuk memohon penyertaan Yang Maha Kuasa dan kehadirn leluhur dalam upacara-upacara dalam kehidupan selanjutnya. Istilah dalam bahasa Ngadha Bui loka oja pe’i radhi lewa Dewa wi dhoro dhegha.
Loka merupakan sekumpulan batu yang disakralkan sebagai tempat pemujaan kpada Yng Maha Kuasa (Dewa Zeta Nitu Zale) dan roh-roh leluhur.
Reba Bhaga/Kobhe Dheke Reba
Reba Bhag adalah acara yang dilaksanakan pada malam menjelang Kobe Dheke reba (malam pertama tahun Baru Tradisional), acara ini bertujuan untuk memberikan persembahan dan sesaji kpada monumen pengganti rupa leluhur wanita (Bhaga) yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban ayam atau babi dan dihadiri oleh one woe, sedangkan Kobe Dheke Reba adalah malam pertemuan pertama bagi one woe (anggota suku) berkumpul untuk merayakan upacara tahun Baru Adat (upacara Reba) pada malam pertama ini biasanya dilakukan upacara syukuran pertemuan dan ucapan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa (Dewa Zeta Nitu Zale) atas perlindungan yang dilimpahkan kepada seluruh one woe (anggota suku).
Leza Reba dan Kobe Reba
Leza Reba adalah hari Tahun Baru Adat, pada momen ini biasanya dilakukan tarian masal yakni tarian Sedo Uwi atau O....wi dan Kobe Reba adalah malam tahun baru dimana One Nua (penghuni kampung0 biasanya saling mengundang untuk makan bersama sebagai bentuk silaturahmi antar sesame masyarakat budaya Ngadha.
Kobe Dhoro/Su’i Uwi
Kobe Dhoro atau Kobe Su’i Uwi adalah malam puncak setiap woe untuk menyelenggarakan evaluasi bersama, perencanaan lanjutan untuk tahun yang akan datangdan diakhiri dengan upacara Su’i Uwi yakni penuturan sejarah kemigrasian sambil mengiris ubi (uwi). Malam su’i ini akan ditutup dengan penyembelihan hewan kurban berupa ayam atau babi untuk memberikan persembahan kepada leluhur.
7.Upacara Ka Nua/Ka Lengi/ Ka Watu Lewa dan Ture
Upacara ini meruapakan upacara penghormatan kepada pemimpin kampung yang telah berinisiatif untuk mendirikan kampung (mori tere lengi). Acara ini juga sebagai pengresmian kampung untuk dihuni oleh suku-suku yang akan mendiami suatu kampung. Puncak acara ini adalah pembantain hewan kurban secara besar-besaran sesuai dengan kesepakatan One Nua (penghuni kampung0 yang bersangkutan. Pembuatan sebuah monument megalitik pada kampung ini harus melalui tahapan antara lain :
Meramal dalam rngka untuk mencari tempat atau batu yang akn diangkat dengan membuat Tibo (ramalan tradisional) biasanya tempat pengambilan batu terletak ke arah Wae Bela dan Bena biasa masyarakat menyebut ”Lau wae Ruba ne’e Zeta Rato”.
Pengangkatan batu/pahgho watu. Pengangkatan batu membutuhkan banyak orang
Na’a Ngia
Saa ngaza
Li goo Laba Jai
Gili Ngadhu Bhaga
Pewi Bela
Pada saat upacara ini seorang anak perempuan dari keturunan orang yang terelengi memakai bela (anting-anting) dan laki-laki memakai Wuli kemudian menari mengelilingi Ngadhu dan Bhaga sampai pada batu peringatan inisiator pendirian kampung.
8.Upacara Bercocok Tanam
Upacara yang biasa dilakukan berkitan dengan siklus penanaman padi ladang. Upacara pada proses tradisional masyarakat budaya Ngadha dilakukan pada semua tahapan ykni pembukaan lahn sampai memanen padi.
9.Upacara Ri’i
Upacara yang dilakukan untuk pengangkatn sumpah bersama sebagai larangan untuk mengambil milik orang tanpa sepengetahuan tuannya. Proses upacara ini dihadiri oleh seluruh unsur masyarakat mulai dari pemerintah, para ktua suku maupun warga masyarakat. Upacara ini ditandai dengan penyembelihan hewan kurban kerbau dan babi.
10.Upacara Penyerahan Hak Kebun/Lahan yang dibeli/Gose Wa’i Ngeta/Jura Lange
Upacara yang diselenggarakan untuk mengesahkan proses penjualan dan pembelian lahn seseorang yang berlaku sebagai penjual dan pembeli lahan.upacara ini dihadiri oleh semua saksi terutama para pemilik kebun tetangga serta anggota suku dari penjual dan pembeli. Dalam upacara ini biasanya dilakukan di tempat (lahan) yang dijualbelikan yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban berupa babi dan ayam untuk persembahan serta dimakan bersama.
11.Upacara Pengambilan Tuak yang pertama/Dhoro Solo
Dhoro Solo adalah upacara syukuran pemanenan tuak perdana dari pohon aren. Acara ini bertujuan untuk mengucap syukur kepada Penguasa langit dan bumi (Dewa Zeta Nitu Zale) yang telah memberikan hasil tuak. Pada acara ini biasanya dilakukan penyembelihan hewan kurban untuk dipersembahkan kepada leluhur dan dagingnya dimakan oleh peserta upacara.
12.Upacara Pemulihan (Pembersihan)
Upacara pemulihan terdiri dari beberapa macam sesuai dengan tujuannya :
Upacara Woko Liko Kada
Upacara yang dilakukan untuk pemulihan bagi seorang yang telah membunuh orang dan telah menjalankan hukuman penjara, selain untuk pemulihan dan pembersihan yang dimaksud acara ini juga berfungsi sebagai ritus nasehat baik bagi pelaku maupun bagi sesama yang mengikuti upacara untuk tidak lagi melakukan kesalahan serupa yang dilakukan pelaku dalam ungkapan adat ”Sau ma’e Ngada Bhuja ma’e laji”. Dalam upacara ini biasa dilakukan penyembelihan hewan kurban berupa kerbau dan babi untuk memberi ujud persembahan kepada leluhur dan dagingnya dimakan bersama.
Upacara Rubu Rao
Upacara yang dilakukan untuk emulihan nama baik seseorang yang telah dicemari oleh seseorang, selain untuk pemulihan dan pembersihan yang dimaksud acar ini juga berfungsi sebagai denda bagi pelaku yang mencemari nama baik seseorang dan berperan sebagai ritus nasehat baik bagi pelaku maupun bagi sesam yang mengikuti upacara unuk tidak lagi melakukan kesalahan serupa yang dilakukan pelaku dalam ungkapan adat ”Toke ma’e deke mote ma’e weo”. Dala, upacara ini biasa dilakukan penyembelihan hewan kurban berupa kerbau dan babi yang segala biayanya ditanggung pelaku yang bersangkutan untuk meminta maaf kepada seseorang yang namanya telah dicemari juga untuk memberi ujud persembahan kepada leluhur dan dagingnya dimakan bersama.
Upacara Dhoro Ga’e/Nuka Nua
Upacara yang dilakukan untuk pemulihan seorang perempuan (rang Ga’e) yang telah melakukan kesalahan dalam berpasangan (tidur bersama/ mengambil suami) dengan orang yang bukan dari kalangan rang Ga’e. Upacara ini lebih ditekankan pada fungsinya untuk pembersihan kesalahab yang telah dilakukandan untuk menurunkan kasta (rang) dari kasta ga’e mengikuti kasta/rang suami. Dalam upacara ini biasa dilakukan penyembelihan hewan kurban kerbau dan babi yang segala biayanya ditanggung pelaku yang bersangkutan untuk meminta maaf kepada leluhur dan dagingnya dimakan bersama.
Upacara Sebhe Bhaku dan Basa Nata Rogho
Pacara yang dilakukan untuk pemulihan kesalahn bagi laki-laki dan perempuan yng telah berbuat salah (berzinah) namun kduanya tidak bersedia untuk hidup bersama sebagai suami istri . Untuk jenis kesalahan ini pihak laki-laki dikenaan sangsi adat berupa kerbau atau kuda sesuai dengan peraturan adat yng berlaku di masing-masing kampung untuk dibayarka kepada pihak perempuan yang bersangkutan. Sesudah menjalankan proses pembayaran denda maka bagi pihk laki-laki akan melakukan upacara Sebhe Bhku (pemulihan untuk boleh mengambil/meminang perempuan lain sebagai istri) sedangkan bagi pihak perempuan akan menjalankan upacara Basa nata Rogho sebagai upacara pemulihan untuk boleh menerima laki-laki menjadi suami. Acara ini juga berperan sebagai ritus nasehat baik bagi pelaku aupun bagi sesama yang mengikuti upacara untuk tidak lagi melakukan kesalahan yang dilakukan kedua pelaku yang bersangkutan dalam ungkapan adat ”ma’e pe go beke sese ma’e laga go pa’a bhara’. Dalam upacara ini bisa dilakukan penyembelihan hewan kurban berupa babi oleh keluarga-keluarga bersangkutan di rumah adat masing-masing untuk meminta maaf kepada leluhur atas kesalahan juga untuk memberi ujud persembahan kepada leluhur dan dagingnya dimakan bersama di masing-masing pihak.
Upacara Sewu Ngewu
Sewu Ngewu adalah upacara pemulihan dalam bencana kebakaran kampung. Upacara ini melalui beberapa tahap yakni :
Zoze Api
Upacara yang dilakukan setelah bencana kebakaran kampung yang bertujuan untuk memutuskan hubungan dengan kutukan api.
Kago Te’e Bola
Upacara untuk memasukan barang-barang yang dikeluarkan dari dalam rumah karena takut dan panik pada saat kebakaran. Upacara ini dilakukan oleh orang-orang yang merupakan penghuni rumah tangga dalam kampung yang luput dari bencana kebakarn di masing-masing rumah.
Pa’i Tibo Taki Api
Upacara yang dilakukan oleh pemilik rumah yang terkena musibah kebakaran guna mencari petunjuk ritual tradisional untuk mengetahui sebab-sebab kebakaran.
Sewu Ngewu
Upacara penyembelihan kerbau oleh pemilik rumah yang terkena musibah kebakaran yang bertujuan untuk menyejukan kepanasan yang disebabkan oleh kebakaran yang telah terjadi dan untuk menjalin hubungan kembali dengan leluhur dan yang Maha Kuasa.
13.Upacara Ghoro Wae
Tahapan yang biasa dilakukan dalam pembangunan air minum atau irigsi adalah sebagai berikut :
Teki Mori Watu Tana/Mata Wae
Tahapan untuk meminta ijin kepada tuan tanah dimana lokasi mata air berada guna membangun saluran air minum.
Gose Sau Su Bhuja
Upacara persetujuan antara pihak tuan tanah dan pihak yang meminta ijin, yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban di mata air dan penancapan Gala Ga’e serta Sau Ga’e secara simbolis oleh tuan tanah.
Bama Ngaru
Upacara ini adalah tahapan setelah pemasangan instalasi air minum sampai pada areal di dekat kampung yang bertujusn untuk mengucapkan selamat datang kepada air terlebih perdamaian Penguasa Bumi (Nitu).
Rida Mori wae
Upacara penghargaan kepada tuan tanah yang ditandai dengan pemberian seperangkat pakaian adat lengkap.
Ghoro Wae
Upacara puncak dimana air telah memasuki kampung. Upacara ini bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada leluhur dan penguasa Langit dan Bumi (Dewa Zeta Nitu Zale). Dalam upacara ini biasanya ditandai dengan penyembelihan hewan kurban berupa kerbau dan babi yang dimeriahkan dengan tarian tradisional Jai Laba Go.

Tarian, Pakaian Adat, Alat Musik dan Lagu-lagu Tradisional Etnis Budaya Ngadha
1.Tarian
Tari-tarian tradisional yang sering dilakukan pada upacara-upacar tradisional dan event-event penting pada rumpun budaya Ngada adalah :
Soka
Soka adalah sebuah tarian yang sering dilakukan pada acara-acara adat. Tarian ini dibagi dalam beberapa jenis sesuai dengan tujuan yang dilakukan atau diadaptasikan dengan tujuan upacara. Adapun jenis-jenis soka yaitu :
a.Soka Sa’o
b.Soka Ngadhu
c.Soka bhaga
d.Soka Golo
e.Soka Jura Langa
Teke
Teke adalah jenis taraian dan nyanyian adat yang berisikan pantun-pantun ajaran yang diwariskan dari leluhur yang sering dipentaskan pada tahapan-tahapan tertentu dalam pebuatan rumah adat Ngadha.
Lea Manu
Jenis tarian syukur yang dipentaskan pada acara Ka Sa’o yang diiringi dengan Go Laba.
Wuga Ngusu
Jenis tari perdamaian yang dipentaskan pada saat perdamaian antara dua pihak yang berseteru.
Jai Laba Go
Tari masal yang merupakan tarian yang paling sering dipentaskan pada saat pembuatan Ngadhu, Bhaga, Peo, Ture dan upacara-upacara penting lainnya, selain dipentaskan pada saat upacara-upacara tradisional jai ini juga dipentaskan pada penjemputan tamu-tamu penting.
Sedo/O....wi
Tarian Sedo/o...wi adalah sebuah tarian masal yang sering dipentaskan pada saat upacara Reba (Tahun Baru Adat).
Sago Alo/Kadhi Dhoga
Tarian hiburan yang sering dipentaskan pada event-event tradisional. Tarian ini merupakan tarian yang menguji ketangkasan untuk melompat di antra mainan atau pukulan bambu yang saling menjepit.
2.Pakaian Adat
Pria
Untuk pakaian adat yang dipakai oleh pria terdiri dari ;
a.Boku
Penutup kepala yang berfungsi sebagai mahkota yang melambangkan kejantanan. Boku tersebut terbuat dari kain yang ditenun berwarna coklat tua
b.Maringia
Secarik kain merah/kuning yang diengkapi hiasan yang digunakan sebagai pengikat untuk memperkuat boku pada kepala
c.Lue
Selembar kain yang bermotif kuda atau ayam yang dilipat dan dikenakan menyilang pada punggung laki-laki

d.Sapu
Kain yang bermotif kuda atau ayam dengan warna dasar hitam yang dikenakan sebagai pengganti celana panjang
e.Keru
Ikat pinggang yang ditenun dengan motif kuda atau ayam yang berfungsi sebagai penguat kain.
f.Lega
Lega/tas adat dibagi 2 (dua) jenis yakni :
Lega Lua Rongo/Lega Jara
Tas anyaman yang diberikan hiasan bulu kuda putih atau bulu kambing putih pada bagian sisi penampang luar
Lega Kebi Tuki
Tas anyaman adat yang diberikan hiasan biasa yang tidak terbuat dari bulu kuda atau kambing.
g.Degho
Gelang adat yang terbuat dari gading gajah.
h.Sa’u
Parang atau klewang yang diberi hiasan bulu kuda putih pada bagian gagangnya (rega sau).
i.Wuli
Kalung khusus yang dikenakan pada saat upacara tertentu yang terbuat dari seperangkat kulit kerang laut.
Wanita
Untuk pakaian adat yang dikenakan oleh wanita yaitu :
a.Medo
Hiasan kepala terbuat dari stik bambu yang diberi hiasan bulu kuda putih.
b.Maringia
Hiasan di dahi yang terbuat dari potongan kain dengan ukuran lebar ± 1 cm panjang sesuai kebutuhan dan dihiasi dengan manik-manik atau perak.
c.Rabhe Kobho
Penguat konde atau manik-manik yang berfungsi sebagai hiasan kepala
d.Kasa sese
Sepasang kain kuning dengan lebar ± 3 cm dengan panjang sesuai kebutuhan dan biasa dipakai dengan cara mnyilang pada dada sampai punggung.
e.Lawo
Kain tenun yang berwarna dasar hitam dihiasi dengan motif kuda atau ayam putih atau biru.
f.Butu Bae
Kalung panjang yang terbuat dari manik-manik.
g.Lega
Sama seperti lega yang dipakai oleh laki-laki
h.Degho
Sama seperti yang dikenakan oleh laki-laki namun ukurannya lebih kecil.
i.Lua Manu
Rangkaian bulu ayam yang diikat dengan benang untuk dikenakan pada jari tangan.
j.Tuba
Sejenis hiasang yang terbuat dari kayu atau tongkat yang diberikan asesoris bulu ayam dan bulu kuda putih yang dipakai pada saat menari.
3.Alat Musik
Go
Seperangkat gong (alat musik yang mirip dengan gamelan). Gong terdiri dari 5 (lima) buah yakni wela, Uto, Bheme dan sepasang Ridhu (Go Doa).
Laba
Laba adalah alat musik pasangan dari gong yakni seperangkat gendang yang terdiri dari 3 (tiga) buah yakni Dera dan sepasang Laba Wa’i.
4.Lagu-Lagu Tradisional
Adapun lagu-lagu tradisional yang sering dinyanyikan oleh masyarakat budaya Ngadh diantaranya adalah :
O Ine Mora Ate
Besi Bero
Be’i Benga
Guru Zele Wolo
Bengu rele kaju dan lain-lain


Permainan Rakyat Etnis Budaya Ngadha
Wela Maka
Juru dhongi
Ghoro Aze
Leba Uki
Fedhi Dhara
Jara Haro
Bo Repa
Maka Jara
Ghebhe Zo
Jedho Watu
Joro Kobha
Meo Lele Dheke


Peta 01

Proses migrsi Orang Ngadha


Sumber Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah raga Kabupaten Ngada

Peta 02
Propisi Nusa Tenggara Timur

Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga



Peta
Peta Pulau Flores





Peta
Persebaran Budaya Ngadha di Kabupaten Ngada



Sumber Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ngada



Gambar


Kampung-Kampung Tradisional Rumpun Bdaya Ngadha












Sumber Data Primer
Gambar


Upacara Tradisional














Sumber Data Primer
















Gambar


Potensi Kepurbakalaan
















Sumber data Primer
















Gambar


Potensi pendukung Kepariwisataan lainnya














Sumber data Primer
Gambar


Panorama 17 Pulau Riung














Sumber data primer











KABUPATEN NGADA, FLORES NTT
.1. Letak Geografis
Kabupaten Ngadha merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak diantara 8°-9° lintang Selatan dan 120° 45° - 121° 50° bujur Timur.bagian utara berbatasan dengan Laut Flores, Bagian selatan berbatasan dengan Laut Sawu, bagian Timur dengan Kabupaten Nagekeo dan bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Manggarai.
Menurut persebaran Budaya Ngadha pada 5 (lima) kecamatan yang ada di Kabupaten Ngadha yakni Kecamatan Bajawa, Kecamatan Golewa, Kecamatan Bajawa Utara, kecamatan Jerebuu dan Kecamatan Aimere dengan batas persebarannya yaitu:
Utara dengan daerah persebaran Budaya Riung dan Budaya Soa
Selatan dengan Laut Sawu
Timur dengan persebaran Budaya Nagekeo pada Kabuapaten Nagekeo
Barat dengan persebaran Budaya Manggarai
.2. Topografi
Keadaan topografi persebaran Budaya Ngadha pada umumnya berada pada bagian selatan Kabupaten Ngada Secara garis besar persebaran Budaya Ngadha berada pada dataran rendah yang curam dengan kemiringan rata-rata 0-60% menurun dari arah Utara Ke selatan dan Timur ke Barat.
.3. Iklim
Pada persebaran Budaya Ngadha tergolong beriklim tropis dan sebagian besarnya terdiri dari padang rumput. Pada areal hutan yang ada ditumbuhi pepohonan seperti kemiri, asam, kayu manis, lontar dan lain sebagainya.
Keadaan iklim pada teritorial Budaya Ngadha menurut Schmidt dan Ferguson adalah iklim tipe E, yaitu dengan enam bulan basah dari November sampai April, dan enam bulan kering dari bulan Mei sampai Oktober. Berdasarkan catatan stasiun pengamat daerah ini, diketahui volume curah hujan rata-rata 169,27 mm per tahun. Temperatur uadaranya bervariasi mengikuti keadaan morphologi yaitu di dataran tinggi rata-rata lebih rendah, dan di dataran rendah rata-rata lebih tinggi.
.4. Jumlah Penduduk
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2008, penduduk Kabupaten Ngada berjumlah 251,792 jiwa dengan rincian laki-laki : 121.821 jiwa dan perempuan 129.971 jiwa yang terdiri dari 51.323 KK, sedangkan jumlah penduduk pada persebaran Budaya Ngadha terdiri dari 19.391 KK. Berikut ini diagram jumlah penduduk di Kabupaten Ngada.

Sumber Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ngada
Gambar 02
Diagram Jumlah Penduduk




Arti Nama Ngadha
Beberapa nara sumber kebudayaan Ngadha menyebutkan Ngadha berasal dari kata Magadha yaitu nama sebuah tempat di India yang memiliki kemiripan penerapan tatanan kehidupan yang hampir sama dengan orang Ngadha di Pulau Flores (Ota Roja).
Meskipun penuturan beberapa nara sumber di atas tidak dapat dibuktikan dengan pasti namun Ngadha adalah nama salah satu Woe (suku) yang ada dalam rumpun budaya Reba (budaya Ngadha/budaya Ngadhu-Bhaga). Suku-suku dalam kebudayan Ngadha mendiami daerah-daerah pada 5 (lima) kecamatan di seputar gunung Inerie. 5 (lima) kecamatan yang menjadi teritorial persebaran budaya Ngadha adalah kecamatan Bajawa Utara, kecamatan Jerebuu, kecamatan Golewa dan kecamatan Aimere.
Persebaran Woe Ngadha dan pengaruhnya menjadi salah satu yang berpengaruh besar pada penyebutan idenatitas budaya antara kalangan rumpun budaya Reba/budaya Ngadhu-Bhaga. Woe-woe (suku-suku) yang tergolongan dalam nama Woe Ngadha diantaranya adalah Woe Ngadha di kampung Bajawa, Woe Ngadha (Ebu Kodo dan Ebu Lodo) di kampung Watujaji (Ngadha Mana) dan Woe Ngadha yang ada di kampung Bokua, Kecamatan Bajawa, Woe Ngadha (Ago Ngadha) di kampung Bena, Kecamatan Jerebuu, woe dan woe Ngadha yang ada di kampung Belarghi, Kecamatan Aimere.
Berpijak dari pengaruh dan persebaranWoe Ngadha di atas maka banyak kalangan dan nara sumber serta beberapa literatur yang telah ada menyebutkn identitas budaya bagi rumpun penganut budaya Reba/budaya Ngadhu-Bhaga sebagai Budaya Ngadha. Nama dan identitas ini telah menjadi penyebutan yang lazim bagi penganut budaya Reba yang terdiri dari berbagai woe dengan masing-masing nama.
Menurut salah satu nara sumber budaya Ngadha Yosep Tua Demu: Ngadha/Ngada berarti memandang atau melihat ke atas secara tegak lurus, seperti yang terungkap dalam ungkapan orang Ngadha yakni Ngada Zi’a ghe’e ulu Zeta pe’e Pengi nee liko digho yang berarti menengadakan muka ke atas baru merunduk dan melihat sekitarnya di bawah. Secara harafiah ungkapan ini berisikan falsafah atau ajakan prinsip hidup untuk masyarakat budaya Ngadha. Ungkapan ini berarti bahw Ngadha adalah memandang ke atas yang berpengertian meminta inspirasi dari Yang Di atas (Dewa Zeta), setelah mendapatkan inspirasi baru merunduk untuk berbuat terhadap apa yang dipandang pada lingkungan sekitarnya. Dengan demikian Ngada adalah permohonan atau do’a kepada ujud yang tertinggi untuk mendapatkan sumber pemahaman yang baik dan rahmat yang baik untuk bekerja dan membangun dunia di sekitar kita.
Ngadha dihubungkan dengan kegiatan orang budaya Ngadha di saat mengunjukan sesaji, khususnya dalam berbagai upacara adat biasanya orang mengucapkan doa adat dengan menengadahkan muka ke atas seraya mengucapkan doa guna memohon perkabulan ujud tertentu.
Menurut Nikolaus Nono Wara menuturkan bahwa Ngdaha terdiri dari dua suku kata yakni Nga dan Dha; Ngha berarti memandang, menjenguk, membesuk, melihat, memeriksa, mengoreksi, mengawasi, menoleh, mengundang, mengajak dan mencari; sedangkan Dha berarti kebawa secara berurutan. Menurut beliau, Ngadha berrati sangat luas yakni pandangan yang bersumber dari Ketuhanan (Dewa) dengan mengutamakan rasa persaudaraan yang harus diaktualisasikan dengan saling memandang, menjenguk, membesuk, melihat, memeriksa, mengoreksi, mengawasi, menoleh, mengundang, mengajak dan saling mencari hal-hal positif guna memupuk kebersamaan dalam suasana kekeluargaan dan kekerabatan guna berpikir, merencanakan dan berbuat sesuatu mulai dari hal besar sampai hal kecil.





Asal - muasal Orang Ngadha sampai ke Pulau Flores
Dalam menelusuri sejarah asal muasal orang Ngadha, perlu dicermati makna dari pada Su’i Uwi yang biasa dilaksanakan pada setiap woe (suku) di seluruh sebaran rumpun budaya Ngadha. Dari Su’i Uwi itu sendiri menggambarkan bahwa orang Ngadha yang sekarang menghuni daerah diseputaran gunung Inerie bukan penduduk asli Flores (Ota Roja). Mereka adalah hasil dari proses kemigrasian yang telah dilakukan oleh para leluhurnya menuju Flores yang telah dilakukan selama berabad-abad (”na na peti fa’o da na leghe lapi”). Dikatakan dalam Su’i Uwi bahwa asal leluhur sebenarnya berasal dari suatu tempat yang sangat jauh dan sudah tidak diketahui namanya dengan pasti (pu’u zili Giu Pu’u Gema). Namun dari berbagai prediksi dan perkiraan yang didapat dari berbagi nara sumber asal leluhur orang Ngadha adalah India. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat secara langsung dalam penerapan tatanan kehidupan orang Ngadha yang memiliki kemiripan dengan peradapan Hindu Kuno. Kemiripan ini dapat disaksikan secara langsung pada keseharian masyarakat yang masih mempertahankan kasta dan ukiran yang mirip dengan huruf dan relief India. Dalam Su’i Uwi juga menjelaskan bahwa leluhur orang Ngadha juga merupakan para pelaut yang cukup tangguh sehingga dalam proses migrasi mereka selalu menggunakan perahu dari satu pulau ke pulau lain. Dari proses migrasi yang digambarkan di dalam Su’i dapat ditangkap dengan jelas tempat-tempat persinggahan sampai pada tempat akhir di Pulau Flores (Ota Roja). Daerah yang bersangkutan adalah India (pu’u Zili Giu pu’u Zili Tana India) sebagai tempat asal, Zealand (Selo One), Cina, Malaka (se’a gha Maza Tana Malaka), Jawa, Sumbawa (Raba), Sumba (Wio) dan sampai pada pendaratan di Ota Roja (Pulau Flores).
Su’i Uwi adalah ajaran pokok yang juga adalah pilar dari semua ajaran pokok dalam kehidupan masyarakat budaya Ngadha/rumpun penganut budaya Reba (budaya Ngadhu-Bhaga). Hal ini dikarenakan fungsi dan peranan daripada Su’i Uwi itu sendiri sangat mendasar dalam pengimplementasiannya pada kehidupan masyarakat Ngadha. Su’i Uwi merupakan kegiatan paling inti dalam melaksanakan ritus Reba yang merupakan upacara tahun baru tradisional masyarakat Ngadha yang biasa dilaksanakan pada malam terakhir atau yang dikenal dengan sebutan Kobe Dhoro.
Dalam Su’i Uwi terdapat banyak hal yang menjadi pilar kehidupan masyarakat Ngadha yang diantaranya adalah ajaran pokok, kepercayaan dan yang paling penting adalah tempat asal muasal orang Ngadha serta tempat-tempat singgahan dalam kemigrasian, asal muasal dari pada gadis yang diperistri pada masa lampau yang nantinya bercikal bakal terbentuknya bagi suku (woe). Berikut adalah Su’i Uwi yang disajikan satu persatu :

Dalam Bahasa Ngadha
Dalam Bahasa Indonesia dan Penjelasan
1.
Su’i O.........wi, Su’i O........wi
1.
Inilah ajaran pokok kehidupan
Sebagai awal dari kalimat ajakan pembuka untuk menyimak ajaran yang akan disampaikan.
2.
Pu’u zili giu pu’u zili gema zili tana India Su’i O......wi
2.
Dari tempat yang jauh dan tidak terdapat titik terangnya di tanah India itulah ajarn pokok kehidupan.
Asal muasal leluhur yang memulai kemigrasian bermula dari suatu tempat di Tanah India
3.
Zili Meko da tere tolo dara masa sa ulu roro Su’i O.....wi
3.
Terdapat adanya sumber terang yang memberi sinar inspirasi bagi kehidupan manusia.
Butir ini menunjukan permulaan daripada terang inspirasi bagi kehidupan manusia dan lingkungan
4.
Zili Sebhe Gha Selo One Su’i O......wi
4.
Telah singgah di Zealand
Dari India berpindah ke Zealand
5.
Da Jo jo dia, Da Jo jo Dheso Su’i O…..wi
5.
Semakin berpindah kemari tujuannya itulah ajaran kehidupan
Perpindahan yang dilakukan tidak serempak dan cepat namun bergeser perlahan yang disebabkan oleh faktor alam dan lainnya.
6.
Zili da nga gha Sina One Su’i O…..wi
6.
Telah sampai ke daerah pedalaman china




Diperkirakan pada masa itu para leluhur berjalan di atas es sampai kepada daerah pedalaman Cina
7.
Da lete wai go Koba Leke da daro wai go kawikao Su’i O....wi
7.
Dengan menerobos hutan belantara
Mereka telah menjelajah hutan dan masuk kepedalaman sampai pada pantai Cina Selatan
8.
Da jo jo dia,Da Jo jo Dheso Su’i O.....wi
8.
Semakin berpindah kemari tujuannya itulah ajarn kehidupan.
Perpindahan yang terus terjadi dari hari ke hari. Perpindahan tersebut dikarenakan persediaan makanan dan kegiatan berburu serta meramu
9.
Zili da pita gha nee bu’e Sina Su’i O...wi
9.
Juga telah mempersunting gadis Cina
Digambarkan bahwa salah seorang dari para leluhur mempersunting gadis Cina.
10.
Zili toni gha ne’e Uwi Su’i O......wi
10.
Mereka sudah mulai menanam Ubi
Mereka mulai mengenal cara bercocok tanam dengan mulai menanam Ubi
11.
Da na, na peti fao da na, na lehge
11.
Berhenti sementara dan beranak pinak
Dalam perkiraan mereka tiba dan mendiami daerah pantai Cina Selatan dan membentuk komunitas di sana.
12.
Zili da pako gha ne’e rajo Su’i O...wi lapi Su’i O.....wi
12.
Di tempat itu mereka mulai membangun perahu
Pada zaman dimana mereka membuat perahu diperkirakan pada saat berakhirnya zaman es.
13.
Zili da Wake gha ne’e Mangu Su’i O....wi
13.
Disana telah ditegakkan tiang tengah pada perahu
Mereka mulai mendirikan tiang perahu.
14.
Zili da Webha gha Laja Su’i O....wi
14.
Telah membentang layar
Mereka memasang dan membentangkan layar
15.
Zili do seda gha tuku Su’i O.....wi
15.
Telah dirangkulkan pendayung untuk mendayung perahu.
Mereka mulai memasuki perahu dan mulai berlayar dengan medayung perahu.
16.
Zili da kesogha Uli Su’i O....wi
16.
Disana telah putar haluan kemudi
Dengan memutar kemudi arah bintang di langit.
17.
Zili da Tange Dala Su’i O....wi
17.
Mengikuti petunjuk arah bintang
Merekapun mengikuti arah bintang di langit.
18.
Zili Mesi mite zili Laja nga rie-rie Su’i O....wi
18.
Disana telah berada di tengah lautan dengan layar yang mengembang
Dalam pelayaran yang dilakukan, merekapun dibantu kekuatan angin untuk melajukan perahu
19.
Da Jo jo dia, Da Jo jo Dheso Su’i O....wi
19.
Semakin berpindah kemari tujuannya
Pelayaran makin ke arah Selatan dan semakin mendekat
20.
Zili da nga dara tana maza, Tana Malaka S21.u’i O....wi
20.
Telah mendarat di daratan, di Tanah Malaka
Mereka mendaratkan perahu di daratan Pantai Malaka.
21.
Da na, na peti fao da na, na leghe lapi Su’i O....wi
21
Berhenti sementara dan beranak pinak
Di tempat yang didarati, mereka berhenti dan beranak pinak.
22.
Zili da tewa wali gha laja Su’i O....wi
22.
Dibentangkannya kembali layar
Mereka kembali ke perahu dan membentangkan kembali layar.
23.
Zili da seda gha wali tuku Su’i O....wi
23.
Disana dikayuhnya kembali pendayung
Mereka mendayung kembali untuk melanjutkan pelayaran
24.
Zili wali ggo ga mesi mite Su’i O....wi
24.
Disana telah berada kembali di tengah lautan
Merekapun berada kembali ke tengah laut
25.
Da Jo jo dia, Da Jo jo Dheso Su’i O....wi
25.
Semain berpindah kemari tujuannya itulah ajaran pokok kehidupan
Semakin kemari kearah yang dituju
26.
Zili da nga gha dara Tana Jawa Su’i O....wi
26.
Disana telah terpandang daratan Tanah Jawa
Mereka telah melihat Tanah Jawa
27.
Zili da kolu gha watu Su’i O....wi
27.
Disana telah diturunkannya jangkar
Mereka merapat ke tepi pantai dan menurunkan jangkar
28.
Zili da pole gha laja Su’i O....wi
28.
Disana digulungkannya kembali layar
Mereka menggulungkannya layar
29.
Da na, na peti fao da na, na leghe lapi Su’i O....wi
29.
Berhenti sementara dan beranak pinak
Mereka berhenti dan beranak pinak
30.
Zili Dasili gha wini Zili da ghale gha ne’e Ngawo Su’i O....wi
30.
Disana telah bercocok tanam
Merekapun mulai mengenal berbagai jenis makanan dan benih untuk bercocok tanam sebagai sumber makanan baru
31.
Zili da maga gha nee Bu’e Jawa Su’i O....wi
31.
Disana telah mengawini Gadis Jawa
Beberapa dari merekapun mengawini gadis-gadis Jawa
32.
Zili da teki gha wali watu Su’i O....wi
32.
Disana telah diangkatnya kembali jangkar
Merekapun kembali ke perahu dan mengangkat jangkar untuk melanjutkan pelayaran
33.
Zili da webha gha wali laja Su’i O....wi
33.
Disana dibentangkannya kembali layar
Mereka membentangkan kembali layar


34.
Zili da seda gha wali tuku Su’i O....wi
34.
Disana dikayuhnya kembali pendayung
Mereka melanjutkan pelayaran dengan mendayung perahu
35.
Zili wali gha go mesi mite Su’i O....wi
35.
Telah berada kembali di tengah lautan
Merekapun sudah berada kembali di tengah laut
36.
Da Jo jo dia, Da Jo jo Dheso Su’i O....wi
36.
Semakin berpindah kemari tujuannya itulah ajaran kehidupan
Pelayaran mereka semakin dekat dengan tempat tujuan
37.
Zili nga gha wali dara zili Tana Raba Su’i O....wi
37.
Disana sudah terlihat daratan Raba (Sumbawa)
Merekapun melihat daratan Sumbawa
38.
Zili da kolu gha watu Su’i O....wi
38.
Disana telah diturunkan jangkar
Mereka mendarat dan menurunkan jangkar di tepian pantai Sumbawa
39.
Zili da pole gha laja Su’i O....wi
39
Disana digulungkannya kembali layar
Mereka kembali menggulung layar
40.
Da na na peti fao da na, na leghe lapi Su’i O....wi
40.
Berhenti semnetara dan beranak pinak
Mereka kembali berhenti dan beranak pinak di tempat itu.
41.
Zili da pase gha ne’e pare Su’i O....wi
41.
Disana telah ditanamnya bibit padi
Mereka mulai menanam padi
42.
Zili da maga gha nee Bu’e Raba Su’i O....wi
42.
Disana telah mengawini Gadis Raba (Sumbawa)
Beberapa diantara mereka mempersunting gadis - gadis Sumbawa
43.
Zili da teki gha wali watu Su’i O....wi
43.
Disana telah diangkatnya kembali jangkar
Mereka kembali ke perahu dan mengangkat jangkar
44.
Zili da webha gha wali laja
44.
Disana dibentangkannya kembali layar
Mereka membentangkan kembali layar
45.
Zili da seda gha wali tuku Su’i O....wi
45.
Disana dikayuhnya kembali pendayung
Mereka mendayung kembali perahu guna melanjutkan perahu
46.
Zili wali gha go mesi mite Su’i O....wi
46.
Disana telah berada kembali di tengah lautan
Lagi-lagi mereka berada di tengah lautan
47.
Lau nga gha wali dara zili Tana Wio
47.
Disana sudah terlihat daratan Wio (Sumba)
Merekapun melihat daratan Pulau Sumba
48.
Lau da kolu gha watu Su’i O....wi
48.
Disana telah diturunkannya jangkar
Mereka merapat ke pantai dan menurunkan jangkar untuk berlabuh.
49.
Lau da pole gha laja Su’i O....wi
49.
Disana digulungkannya kembali layar
Layar pada perahu merekapun digulung kembali
50.
Da na, na peti fao da na, na leghe lapi Su’i O....wi
50.
Berhenti sementara dan beranak pinak
Kembali mereka berhenti dan beranak pinak
51.
Lu da wito gha nee Bu’e Wio Su’i O....wi
51.
Disana telah mengawini Gadis Wio (Sumba)
Beberapa dari merekapun mengawini gadis-gadis Sumba
52.
Lau da webha gha wali laja
52.
Disana dibentangkannya kembali layar
Mereka kembali membentangkan kembali layar
53.
Lau da seda gha wali tuku Su’i O....wi
53.
Disana dikayuhnya kembali pendayung
Mulailah mereka berlayar dengan mendayung perahu
54.
Lau wali gha go mesi mite zili laja nga rie-rie Su’i O....wi
54.
Disana telah berada kembali di tengah lautan
Merekapun telah berada di tengah laut
55.
Lau da toja gha nuka di Roja Su’i O....wi
55.
Disana sudah berangkat menuju Roja (Flores)
Perahu yang ditumpanginya diarahkan menuju Pulau Flores
56.
Da jo jo dia, da jo jo dheso Su’i O....wi
56.
Semakin berpindah kemari tujuannya itulah ajaran kehidupan
Pelayaran telah dilakukan semakin mendekat ke tempat tujuan.
57.
Lau sei lau mai Su’i O....wi Su’i O....wi
57.
Siapakah gerangan yang ada di sana
Sebuah pertanyaan untuk mengetahui para leluhur yang melakukan pelayaran
58.
Lau Oba ne’e Nanga da se wae bata da meri Anakoda Su’i O....wi
58.
Disa Oba dan Nanga yang mengarungi lautan
Dari rombongan perahu yang ada terdapat pemimpin pelayaran yang namanya adalah Oba dan Nanga
59.
Lau da nga ghadara Tana Roja Su’i O....wi
59.
Di sana telah dilihatnya daratan Ota Roja (Pulau Flores)
Merekapun telah melihat dari kejauhan daratan Pulau Flores
60.
Lau da kolu gha watu Su’i O....wi
60.
Disana telah diturunkan jangkar
Mereka merapatkan perahu ke daratan dan menurunkan jangkar untuk mendarat
61.
Lau da pole gha laja Su’i O....wi
61.
Di sana digulungkannya kembai layer
Mereka menggulungkan layar
62.
Dia gha Wae Meze, Su’i O....wi
62.
Sudah berada di muara Wae Meze (sekarang muara kali Wae Mokel)
Adapun tempat yang didarati pertama kali adalah pada muara Wae Mokel
63.
Dia Tiwu da lima latu sa bhege da bheo pau, Su’i O....wi
63.
Sudah berada pada suatu tempat yang penuh dengan air yang jernih
Mereka melihat tempat tersebut merupakan tempat yang dituju dimana tampak air yang jernih dan berbagai binatang serta tampak daratan yang subur untuk menetap
64.
Dia da Nga Bata Neno wae, Su’i O....wi
64.
Sudah tiba pada suatu tepian
Mereka turun dan melihat berbagai keadaan yang menjanjikan kemakmuran
65.
Viki ba nono dhiri Lina ba pia kisa Su’i O....wi
65.
Kumpulan yangmengutamakan kemurnian dan kebenaran
Sebuah tempat yang mengarah pada suatu kebenaran yang diyakini
66.
Di da sao-sao ba mara talo Naku nuka ba mara ngaru, Su’i O....wi
66.
Suatu tempat yang berkelimpah-an makanan dan tiada akan habisnya walupun diambil terus menerus
Tempat yang diyakini dalam petunjuk dengan berbagai kelimpahan makanan yang tiada berkesudahan
67.
Dia da pale ne’e zala Pale da toke ne’e Zala sede, Su’i O....wi
67.
Berpencar menyusuri pantai dan menyusup ke dalam hutan serta pengunungan
Seiringan dengan lamanya waktu merekapun berpencar sesuai dengan persebarannya.
68.
Salapa sa lazi nee maghi Padhi teda ne’e peda mera, Su’i O....wi
68.
Dan mulai membagi daratan dengan batas menurut teritorial sukunya yang berkembang.
Mereka mulai menetap dan beranak pinak serta membagi daratan untukmdijadikan hak pusaka dengan batas-batas yang menjadi teritorial suku yang dapat disaksikan sampai sekarang.


4.2.3.Peninggalan Budaya Ngadha
Tabel 02
Peninggalan Budaya Ngadha
1.Kecamatan Aimere
No.
Nama Kampung Tradisional
Desa
Jarak dari Bajawa
Keterangan Potensi
1.
Belaraghi
Keligejo
47 km
Rumah adat Ngadha
Ngadhu (simbol leluluhur laki-laki)
Bhaga (simbol leluhur perempuan)
Kompleks megalith
Upacara-upacara tradisional
Permainan rakyat
Tari-tarian tradisional
Berbagai cerita rakyat
2.
Lopi Jo
Keligejo
50 km
Sama dengan kampung di atas
3.
Watu
Sebowuli
65 km
Sama dengan kampung di atas
4.
Maghilewa
Inerie
63 km
Sama dengan kampung di atas
5.
Jere
Inerie
61 km
Sama dengan kampung di atas
6.
Sewowoto
Waebela
70 km
Sama dengan kampung di atas
7.
Delawawi
Waebwla
73 km
Sama dengan kampung di atas
8.
Leke
Sebowuli
64 km
Sama dengan kampung di atas

2.Kecamatan Jerebuu
No.
Nama Kampung Tradisional
Desa
Jarak dari Bajawa
Keterangan Potensi
1.
Bena
Tiworiwu
19 km
Rumah adat Ngadha
Ngadhu (simbol leluluhur laki-laki)
Bhaga (simbol leluhur perempuan)
Kompleks megalith
Upacara-upacara tradisional
Permainan rakyat
Tari-tarian tradisional
Berbagai cerita rakyat dan legenda
2.
Luba
Tiworiwu
18 km
Sama dengan di atas
3.
Sarabawa
Tiworiwu
20 km
Sama dengan di atas
4.
Tololela
Manubhara
23 km
Sama dengan di atas
5.
Gurusina
Watumanu
26 km
Sama dengan di atas
6.
Suza
Manubhara
29 km
Sama dengan di atas
7.
Bowaru
Dariwali
23 km
Sama dengan di atas
8.
Buutolo
Dariwali
22 km
Sama dengan di atas
9.
Nage
Dariwali
25 km
Sama dengan di atas
10.
Wajo
Dariwali
26 km
Sama dengan di atas
11.
Nio
Dariwali
27 km
Sama dengan di atas
12.
Nekisi’e
Naruwolo
29 km
Sama dengan di atas
13.
Dokaredu
Naruwolo
29 km
Sama dengan di atas
14.
Deru
Nenowea
39 km
Sama dengan di atas
15.
Pali
Nenowea
43 km
Sama dengan di atas

3.Kecamatan Golewa
No.
Nama Kampung Tradisional
Desa
Jarak dari Bajawa
Keterangan Potensi
1.
Wogo
Ratogesa
22 km
Rumah adat Ngadha
Ngadhu (simbol leluluhur laki-laki)
Bhaga (simbol leluhur perempuan)
Kompleks megalith
Upacara-upacara tradisional
Permainan rakyat
Tari-tarian tradisional
Berbagai cerita rakyat dan legenda
2.
Wogo olo
Ratogesa
24 km
Potensi megalith
3.
Gisi olo
Ratogesa
23 km
Potensi megalith
4.
Lokalina
Doka
26 km
Sama dengan kampung Wogo
5.
Wajamala
Doka
28 km
Sama dengan kampung Wogo
6.
Be’a
Rakateda I
21 km
Sama dengan kampung Wogo
7.
Jeru
Wogowela
44 km
Sama dengan kampung Wogo
8.
Bawarani
Wogowela
45 km
Sama dengan kampung Wogo

4.Kecamatan Bajawa
No.
Nama Kampung Tradisional
Desa
Jarak dari Bajawa
Keterangan Potensi
1.
Bela
Beja
15 km
Rumah adat Ngadha
Ngadhu (simbol leluluhur laki-laki)
Bhaga (simbol leluhur perempuan)
Kompleks megalith
Upacara-upacara tradisional
Permainan rakyat
Tari-tarian tradisional
Berbagai cerita rakyat dan legenda
2.
Sukatei
Beja
16 km
Sama dengan Bela
3.
Namu
Beja
16 km
Sama dengan Bela
4.
Ngadha
Bajawa
3 km
Potensi Megalith
5.
Nua Bawa
Be’iwali
16 km
Potensi Megalith
6.
Ekoheto
Wawowae
17 km
Potensi Megalith
7.
Belu olo
Ubedolumolo
11 km
Potensi Megalith
8.
Langagedha olo
Beja
16 km
Potensi Megalith
9.
Warusoba olo
Be’iwali
6 km
Potensi Megalith




5.Kecamatan Bajawa Utara
No.
Nama Kampung Tradisional
Desa
Jarak dari Bajawa
Keterangan Potensi
1.
Menge
Wololiko
15 km
Rumah adat Ngadha
Ngadhu (simbol leluluhur laki-laki)
Bhaga (simbol leluhur perempuan)
Kompleks megalith
Upacara-upacara tradisional
Permainan rakyat
Tari-tarian tradisional
Berbagai cerita rakyat dan legenda
2.
Pogo bani
Wololika
17 km
Potensi megalith
3.
Gou Paru
Wololika
18 km
Sama dengan kampung Menge


Simbol – Simbol Budaya Ngadha
1.Ngadhu
Ngadhu adalah monumen pengganti rupa leluhur lelaki yang melambangkan persatuan dan kesatuan di dalam satu kestuan hukum adat yang berdasarkan keturunan darah (geneologis) yang dikenal dengan Woe/Klan.
Masyarakat budaya Ngadha atau yang sering disebut penganut budaya Reba berkeyakinan tinggi bahwa Ngadhu adalah orang tua/leluhur menjadi perantara kehidupan keturunan menuju Dewa. Selain itu Ngadhu merupakan kenangan kejayaan seorang leluhur yang menjadi panutan atau dalam bahasa Ngadha disebut dengan kata Sadho dan dalam suatu klan merupakan satu kesatuan yang berdiri penuh untuk mengatur rumah tangga woenya sendiri (otonomi yang kuat). Dalam hal ini masyarakat Ngadha sangat menjunjung Ngadhu yang merupakan reinkarnasi orang tua/leluhur yang harus dihormati supaya hidupnya selamat dan bahagia. Bentuk Ngadhu seperti payung yang beratapkan alang-alang dan mengerucut ke langit yang artinya bahwa masyarakat Ngadha juga percaya akan adanya Tuhan (Lobo wi soi Dewa). Bangunan ini bertiang satu dan berukiran pada batang (tiang) dimana ukiran pada batangnya terdiri dari 3 (tiga) bentangan penampang ukiran (Nai Telu) yang juga memiliki arti tersendiri yakni didalam masyarakat Ngadha masih mempertahankan kasta atau rang, yang dikenal dengan 4 (empat) rang yaitu : Ga’e, Ga’e Kisa, Ga’edhiri dan Ho’o.
2.Bhaga
Bhaga merupakan monument pengganti leluhur perempuan yang merupakan pasangan dari Ngadhu. Dalam masyarakat Ngadha dikenal ungkapan yang berbunyi : ana Sawa Ba’a Lau Lewa Bhaga, Sawa da Ba’a To’o Ngi’i Go Lobo da Milo Olo artinya Keturunan yang bernaung di bawah naungan Leluhur Pokok Perempuan, pasti bangkit berkegiatan penuh keberhasilan yang membahagiakan karena Leluhur Pokok Perempuan itu berlatar belakang kesucian yang agung adanya. Bhaga menunjukan sebagai salah satu ciri budaya Ngadha yang Matrilineal. Bentuk Bhaga sama dengan Rumah Adat (Sa’o). Sarung kesuburan dari leluhur perempuan atau dikenal dengan istilah Kodo Su’a : Sangkar Keselamatan yang merupakan lambang berkelnjutan warisan garis keturunan ibu. Dalam hal ini juga menggambarkan kewibawaan seorang ibu (Finega’e Neka) yang juga merupakan jatidiri masyarakat budaya Ngadha/penganut budaya Reba. Bhubu Mu Kaja Maza istilah dalam bahasa Ngadha yang mengarah pada sebuah keyakinan bahwa leluhur perempuan merupakan seorang pelindung.
3.Peo
Peo adalah batu yang ukurannya 1 (satu) meter. Di lihat dari fungsi lambangnya peo hampir sama dengan Ngadhu, hal ini diyakini bahwa peo merupakan leluhur yang lebih tua dari Ngadhu. Hal ini dikarenakan sebelum Ngadhu yang terbuat dari kayu, sebelumnya leluhur yang terdahulu telah menggunakan batu sebagai Ngadhu. Keyakinan ini diungkapkan dalam ungkapan adat : Ngadhu Wai Watu, Bhaga wai Tana. Selain sebagai gambaran leluhur yang tertua dari Ngadhu, Peo merupakan tempat untuk menambatkan tali hewan korban yang disatukandari Ngadhu sebagai persembahan yang tertinggi kepada leluhur dan Dewa.
4.Sa’o
Sa’o adalah sebuah bangunan komunal yang berfungsi sebagai alat pemersatu di dalam suku dan tingkat kemajuan hidup manusia di dalam suku. Sa’o ini dimaksudkan menggambarkan persatuan dan kebersamaan hidup dalam kelompok sosial masyarakat adat (sebuah suku). Selain sebagai pemersatu sebuah suku, Sa’o juga menunjukan jatidiri para penghuninya dan para anggota suku yang merupakan personifikasi leluhur karena sa’o biasa dihubungkan dengan sebuah nama yakni nama leluhur dari anggota suku yang bersangkutan sebagai implikasi sejarah suku yang selalu mengingatkan anggota suku tentang sejarah perjalanan suku.
Dalam masyarakat budaya Ngadha dikenal ada beberapa jenis rumah adat sesuai statusrumah di dalam sebuah suku yakni :
Sa’o Meze Saka/Peka Pu’u
Sa’o Meze Saka/Peka Lobo
Sa’o Wua Gha’o Peka Pu’u dan Peka Lobo
Sa’o Kaka Peka Pu’u, Sa’o Kaka Peka Lobo dan Sa’o Kaka Wua gha’o
Sa’oDhoro/Dai/Sipo/Padhi hae duri tewu
Pembagian jenis sa’o seperti ini dikaitkan dengan pembagian tugas dan fungsi dari masing-masing jenis sa’o yang harus diemban oleh para pemiliknya. Peka Pu’u adalah Kobho Bhaga atau disebut juga dengan nama Sa’o Teke Kobho Bhaga, dimana semua penghuninya/pemiliknya memiliki hak dan kewajiban yang sama atas segala warisan kekayaan yang menjadi milik dari sa’o peka pu’u. Peka Lobo adalah Kobho Madhu atau disebut juga sa’o Teke kobho madhu atau disebut juga sa’o Teke kobho Madhu dimana pemiliknya mempunyai hak dan kewajiban yng sama atas segala warisan kekayaan milik sa’o peka lobo dan sa’o Wua Gha’o adalah sa’o yang berperan sebagai penengah, yang menjembatani semua kepentingan dalam sebuah suku baik kobho bhaga maupun kobho madhu karena peran sa’o wua gha’o ini digambarkan sebagai ”Wua papa Zua – Gha’o Mai Pali” yang diartikan sebagai perngkul. Semua silang sengketa yang terjadi dalam sebuah suku akan diselesaikan secara kekeluargaan dengan difasilitasi dari sa’o wua gha’o. Selain itu sa’o wua gha’o juga memiliki peran sebagai tujuan bersama baik dari sa’o peka pu’u maupun sa’o peka lobo yang disimbolkan dengan sebuah Peo. Sa’o Kaka adalah sa’o-sa’o pendukung yang dikembangkan menurut jumlah manusia dari masing-masing rumah pokok (Sa’o Meze) baik peka pu’u, peka lobo maupun wua gha’o.
Sa’o Dhoro adalah sa’o-sa’o turunn paling bahwah baik dari sa’o meze maupun sa’o kaka yang diperuntukan bagi anggota suku yang telah berkembang banyak guna mengelola segala warisan kekayaan yang telah dibagi secara merata yang disebut Padhi Hae Duri Tewu. Pengelolaan warisan diarahkan untuk pengembangan kehidupn suku yang lebih baik khususnya dalam bidang ekonomi yang disebut Segha Kodo Manu – Regha Ga’a Ngana.
5.Watu Laba(Watu Lewa/Lengi)
Monumen seorang pemimpin yang melambangkan seorang yang menjadi penginisiatif untuk membangun kampong.

4.2.5. Upacara-Upacara Tradisional Etnis Budaya Ngadha
1.Upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia dari lahir sampai dewasa
Geka Naja
Upacara yang dilaksanakan bertujuan untuk mensyukuri kelahiran anak yang ditandai dengan Poro Puse (memotong tali pusat) serta pemberian nama
Lawi Ana
Upacara yang dilaksanakan bertujuan untuk mengesahkan kehadiran anakdalam keluarga besar dan mensyukuri kelahiran anak yang ditandai dengan penyembelihan babi untuk memberi makan kepada leluhur.

Kiki Ngi’i
Upacara yang dilaksanakan bertujuan untuk mendewasakan seorang gadis sebelum melanjutkan ke jenjang yang lebih lanjut.
2.Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan tradisional khususnya untuk di sa’o/ kawo api melewati beberapa tahap :
Beti tei tewe da moni neni
Pada tahapan ini merupakan tahapan awal/umum yang biasa dialami oleh setiap pasangan berkaitan dengan proses jatuh cinta. Pada jaman dahulu proses beti tei ini biasanya terjadi pada event-event tradisional.
Beku mebhu tana tigi
Beku mebu tana tigi adalah tahapan umum lanjutan dari proses beti tei tewe de moni neni oleh calon mempelai pria yang bertujuan untuk melakukan pendekatan dengan gadis idaman dan keluarga/calon besan yang bersangkutan. Pada tahap ini laki-laki mengadaptasi diri dengan gadis dan keluarga.
Naa boro/sezu
Setelah merasa cocok maka laki-laki yang bersangkutan akan mendiskusikan dengan pihak keluarga tentang kecocokan untuk menjalin hubungan perkawinan dengan gadis idaman yang dimaksud. Selanjutnya akan mengirim delegasi untuk melakukan lamaran ke rumah mertua gadis. Dalam tahap ini biasanya akan mendiskusikan waktu dan proses lanjutan.
Tege tua manu/idi manu nio
Setelah naa boro maka akan dilanjutkan dengan tege tua manu (membawa ayam dan moke/tuak putih) ke rumah calon istri. Pada tahapan ini laki-laki bersama rombongan dan keluarga beriringan menuju rumah calon besan.
Seza /buri peka naja logo bei ube/sui tutu maki Rene
Setelah tege tua manu akan dilanjutkan dengan zeza yang merupakan tahapan puncak dalam mengesahkan pasangan wanita dan laki-laki untuk hidup berdampingan sebagai suami dan istri.
3.Upacara Kematian
Upacara kematian dibagi dalam 2 (dua) bagian yang berbeda yakni :
Mata Ade
Upacara Mata Ade ditujukan untuk mengungkapkan kesedihan dan ucapan selamat jalan terhadap orang yang meninggal, khususnya untuk orang/jasad/mayat yang mati bukan karena kecelakaan (mati yang dikarenakan penyakit menurut versi medis dan analisa ilmiah). Sebelum melaksanakan acara penguburan bagi keturunakan yang mewarisai budaya neku/wajib neku maka akan melaksanakan acara neku untuk mengungkapakan rasa hormat dan sebagai ucapan perpisahan yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban yakni babi dan kerbau.
Mata Golo
Mata Golo adalah acara yang ditujukan untuk mengungkapkan kesedihan dan ucapan selamat jalan terhadap orang yang meninggal. Pada acara ini bagi orang yang mata golo adalah upacara khusus untuk orang yang meninggal karena kecelakaan (mati yang dikarenakan bukan penyakit menurut versi medis atau analisa ilmiah).
Pada tahapan selanjutnya keo redo dan nulu. Nulu ditujukan untuk mengungkapan rasa sedih dan sebagai ucapan perpisahan yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban ykni babi, ayam dan kerbau.
4.Upacara Pembuatan Rumah Adat
Upacara tau sa’o sampai ka sa’o dilalui beberapa tahap yaitu :
Zepa
Zepa Kolo : mempersiapkan alat ukur yang terbuat dari bilah-bilah bambu (kolo), untuk digunakan pada saat mencari bahan-bahan sa’o. Kolo dibuat sebanyak 2 (dua) batang yang satu disebut Kolo Dongo dan Kolo Loza. Kolo Loza berfungsi untuk dibawa ke setiap tempat untuk mengukur bahan sa’o yang dipotong dan Kolo Dongo akan tetap berada di rumah (sa’o) pu’u sebagai antisipasi bila terjadi sesuatu dengan kolo loza misalnya hilang atau patah.
Ka Kolo/Basa Mata Taka
Upacara yang dilakukan sebagai awal dari proses pembuatan rumah adat. Acara ini dilakukan setelah epa (mengukur ukuran rumah) yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan meminta dampingan pada Tuhan dan leluhur bagi peralatan yang akan digunakan dalam bekerja di hutan selama pencaraian material/ramuan pembuatan rumah adat. Dalam acara ini biasanya dilakukan acara penyemelihan hewan kurbn (ayam/babi) dan dilihat hatinya sesuai dengan kebiasaan untuk melihatn urat dari hati hewan kurban yang dkurbankan. Acara ini biasanya dipimpin oleh ketua suku atau orang yang dituakan dalam suku. Dalam acara akan dihadiri oleh seluruh ana sao dan ana woe guna mendukung pencarian material rumah dan proses pembangunan rumah selanjutnya.
Gebhe Puu Kaju
Setelah semua bahan (material) rumah selesai didapat/terkumpul maka akan dilakukan acara pembasmian tunas-tunas kayu yang kayunya telah diambil untuk materila rumah adat baru. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan orang Ngadha bahwa pohon yang telah diambil untuk material rumah tumbuh(bertunas) maka akan membawa sial bagi penghuni dan ana sa’o (anggota rumah/suku).
Bama Ngaru Kaju
Ngaru dipahami sebagai roh yang hidup. Hal ini dikaitkan dengan semua bahan sa’o yang telah disakralkan sebagai perwujudan atau personifikasi leluhur para anggota suku/anggota sa’o yang akan dibangun karena datangnya bahan sa’o dari berbagai tempat menuju tempat persiapan akhir pembangunannya dianggap sebagai datangnya para leluhur yang telah diundang oleh anggot suku lewat berbagai upacara dari setiap tahapan yang telah dilakukan.
Weti
Weti adalah proses untuk memahat atau relief atau simbol-simbol tradisional orang Ngadha. Adapun beberapa relief untuk membuat motif/gambar pada penampang Ngadhu, Bhaga dan sa’o yakni :
Manu (ayam) : melambangkan kelantangan akan kenyataan dan kebenaran. Hal ini dimaksudkan bahwa semua pemilik sa’o atau anggota suku harus berani menyuarakan kebenaran dengan jujur dan lantang seperti apa yang disebut dengan istilah Kako moe manu jago.
Jara (kuda) : melambangkan kekuatan/keperkasaaan sekalihus kelantangan yang senantiasa mendorong para anggota suku untuk terus berusaha membangun sukunya guna menuju kejayaan bersama yang disebut dengan itilah Ie moe jara ngai. Selain itu gambr kuda (jara) juga menggambarkan kekuatan para leluhur yang selalu melindungi para anggota suku atau anggota rumah tersebut. Bila dicermati secara seksama, penampilan gambar kuda dan ayam biasanya menghadap ke dalam sa’o. Dalam hubungannya dengan konsep kejujuran, kebenaran dan kebersihan, maka posisi gambar seperti ini sebenarnya mau menceritakan bahwa segala sesuatu yang buruk yang akan mengganggu persatuan dan kesatuan dalam suku harus ditendang dan disingkirkan untuk tetap melahirkan kebaikan bersama. Pengertian ini senantiasa tergambar dalam ungkapan : gai ne’e wai pali, viki wi nono dhiri, lina wi pia kisa, modhe wi kono one.
Zegu Kaba (tanduk kerbau) : melambangkan kekayaan terutama hewan besar yang dimiliki oleh suku. Pembuktian akan kekayaan suku itu biasanya tampak pada jumlah hewan khususnya kerbau yang dikorbankan pada saat pelaksanaan pesta sa’o yakni ka sa’o. Pada jaman dulu, kekayaan ini juga dibuktikan dengan jumlah hewan yang banyak dan padang gembala suku (kuru kaba/kopo kaba).
Taka dan Bela : adalah perhiasan telingan yang terbuat dari emas, perbedaannya pada ukuran dan peruntukannya. Taka berukuran lebih besar dan biasa dipakai oleh kaum bangsawan laki-laki, sedangkan Bela berukuran lebih kecil dan hanya dipakai oleh kaum wanita. Baik taka maupun bela melambangkan kekayaan khususnya emas yang dimiliki anggota suku.
Tara Tawu/Kisa nata :
Melambangkan perkembangan manusia yang bermula dari sepasang leluhur.
Torengan/Nuka Nua
Nuka nua adalah tahapn atau proses membawa semua material sa’o dari tempat persiapan akhir menuju ke dalam kampung, bersama seluruh penghuni kampung yang diiringi dengan tarian Kelo ghae, Go Laba dan Jai dengan mengintari seluruh pelataran kampung dan kemudian menuju tempat sa’o yang telah dipersiapkan secara baik.
Tere Leke/Tere Pudha
Basa Leke : setelah mengelilingi kampung dalam acara roa dhea, maka dilanjutkan dengan acara Mate Ngana Basa Leke yaitu pengorbanan hewan korban (babi) dalam rangka menyucikan semua meterial sa’o yang akan dibangun terutama leke sebagai bahan dasar sekaligus pemberian makan kepada leluhur.
Mula Lekei : adalah pemasangan tiang sa’o (leke) sebanyak 4 (empat) buah yang terbuat dari kayu hebu dengan bantuan alat ukur yang terbuat dari bambu yang disebut Suru Nuba. Sebelum leke-leke dipancangkan pada tempatnya masing-masing terlebih dahulu dibasuh dengan darah babi korban yang sudah didoakan dalam acara mate ngana.
Se’a Tenga : Tenga adalah balok besar penghubung antar leke. Se’a tenga leke adalah pemasangan balok besar (tenga) untuk menghubungkan atau mengikat antar leke.
Dolu/fedhi wae/dolu wae : menentukan rata atau tidaknya leke yang telah dipasang dengan mericiki air pada pertengahan tenga, bila jatuhnya atau mengalirnya air tegak lurus dari atas ke bawah berarti posisi leke dan tenga yang telah dipasang sudah pas.
Soka Leke : Soka leke pada dasarnya adalah sebuah maklumat atau pernyataan dari para pemilik sa’o atau anggota suku kepada khalayak tentang kesanggupan anggota suku serta proses yang telah dilalui sesuai dengan tahapan-tahapan dalam membangun sa’o mereka.
Remi Ube/Kobo Ube
Pemasangan ube sa’o secara keseluruhanselain pintu atau pene sa’o dengan urutan sebagai berikut : Ulu-wewa , kemo-pali (belakang-depan, kiri-kanan). Ulu-wewa melambangkan mama atau induk yang melahirkan, sedangkan kemo-pali melambangkan anak yang dilahirkan karena itu sebagai mama harus dipasang terlebih dahulu sebelum anak.
Wa’e Sa’o
Gebhe yiru (loteng) adalah bambu-bambu khusus dengan kualitas baik yang dipasang untuk menghubungkan tudhi dhoi dan berfungsi sebagai tempat pijakan lado lewa (tiang nok) sa’o. Kualitas baik dari tudhi dhoi harus ditentukan oleh beberapa persyaratan sebagai erikut : bambu harus berumur tua dan berukuran besar pada kedua ujungnya harus tepat pada buku yang dikenal dengan istilah luki buku pali, keadaan bambu tidak boleh retak atau pecah dan harus dicari oleh orang kepercayaan dalam suku yang menjadi panutan dan tidak bercela dalam segala segi kehidupannya. Hal ini memiliki makna bahwa sa’o yang dibangun merupakan personifikasi leluhur yang penuh dengan segala kebesaran dan keagungan yang sering digambarkan dengan istilah ghubu meze wolo (atap bagaikan gunung) menjadi tidak tercela. Dengan kata lain kesucian, keperkasaan dan keagungan para leluhur perlu terus dijaga dan diwariskan sampai ke anak cucu. Pemasangan tiang nok (lado lewa) yang akan memberikan warna atau bentuk secara keseluruhan terhadap atap (ghubu) sa’o. Keagungn ghubu sa’o yang dikenal dengan istilah ghubu mewe wolo sangat dientukan oleh tinggi rendahnya lado lewa yang dipasang. Semakin tingginya lado lewa yang dipasang yang tentunya disesuaikan dengan besar kecilnya badan sa’o maka secara lahiriahpun sa’o akan kelihatan semakin angun. Pali redhi adalah bilah-bilah bambu berukuran sedang dan kuat yang dipasang secara menyilang pada sisi depan dan belakang lado lewa yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan posisi atap.
Sok soku dolu adalah balok-balok huk berupa bambu-bambu berukuran sedang yang tua dan kuat yang dipasang pada ke-4 sudut sa’o dengan posisimengerucut dengan ujung-ujung bertemu pada ujung kiri dan kanan atas dari lado lewa
Teo zo adalah bambu-bambu bulat yang ukurnnya sedikit lebih besar dari soku dolu dipasang pada ujung ke-4 soku dolu dengan menghubungkan satu sama lain. Teo zo selain berfungsi sebagai perekat soku dolu satu sama lain juga berfungsi sebagai landasan pijak Soku Bhoda.
Soku bhoda adlah bambu-bambu bulat berukuran lebih kecil dari sou dolu yang dipasang secara merata pada semua sisi atap di antara soku-soku dolu dengan jarak 5-10 yang berfungsi sebagai landasan dasar dari alang-alang (keri).
Soku Paba adalah bilah-bilah bambu yang dipasang secara melintang di luar dari soku boda dan soku dolu yang diperkuat dengan tali-tali ijuk dan berfungsi sebagai tempat tambatan alang-alang (keri).
Walu soku adalah saat-saat senggang menjelang tahapan mengatapan sa’o (sewo Sa’o) khususnya pada malam hari yang selalu diisi dengan atraksi tarian hiburan Teke. Teke adalah tarian masal dan lagu yang berisikan syair-syair tentang kondisi atau berbagai hal yang berhubungan dengan suku yang sedang membangun sa’o tersebut. Teke dibagi dalam 2 bagian yaitu bagian pembukaan disebut Kelo ghae.
Pelapisan bubungan sa’o dengan alang-alang sebanyak 30 ikat yang dikenal dengan sebutan Peju zeta nedhu uju bulu telu. Angka 30 merupakan simbol dari 3 tahapan kehidupan manusia yang memberikan harapan dan semangat yakni anak-anak, rmaja dan dewasa sebagai puncak kejayaan hidup manusia. Dalam pembangunan sebuah sa’o khususnya sa’o yang bernama, kedewasaannya selain digambarkan melalui simbol ini juga ditampilkan melalui gambar atau ukiran yang terpampang di dalam sa’o seperti kuda dan ayam baik pada kawa pere, ube ataupun pada ngani lewa. Untuk kedewasaan sebuah sa’o yang berkaitan dengan ukiran-ukiran juga simbol 30 yang telah dikemukakan di atas terdapat ungkapan sebagai berikut : Dia sadho ga Inerie, Leba gha suri laki. Kako gha moe manu jago, Ie ga sama jara ngai.
Tege Sua Sa’o dan Kawa Pere
Tahapan ini adalah proses lanjut yg dilaksanakan setelah pembangunan atap rumah selesai yakni memasukkan symbol-simbol penting yang merupakan lambing dan identitas rumah yakni Sua Sa’o (lambang hak atau yang disebut juga dengan sertifikat tradisional) dan Kawa Pere (lambang kebesaran, kewibawaan sesuai dengan status rumah adat di dalam sebuah suku).
Ka Sa’o
Acara puncak sebagai pentabisan rumah adat yang baru sebagai pertanda bahwa rumah adat ini dinyatakan sehat seseuai dengan ketentuan adat untuk dihuni oleh Ana Sa’o. Pada acara ini biasanya dipentaskan tarian jai Laba Go dan diikuti dengan penyembelihan kerbau dan babi.
Tahapan ini akan dihadiri oleh semua Ana Woe, Wai Laki, Lobo Tozo tara dhaga kerabat dan hubungan perkawinan.
5.Upacara Pembuatan Ngadhu dan Bhaga
Pai tibo taki laza Ngadhu
Dimulai dari loka tiga sewu untuk merencanakan dalam rangka pembuatan Ngadhu dan tempatnya di rumah pokok yaitu upacara Pai Tibo untuk menentukan pohon hebu mana yang akan diambil guna dijadikan btang Ngadhu.
Taki hebu
Gedho lako sebuah tahapan yang dilakukan setelah upacara pai tio yakni beberapa orang dari anggota diutus ke hutan untuk mencari pohon hebu. Setelah mendapat hebu yang ditunjuk oleh tibo akan ditandai dengan pei wako/gelaga guna menandai bahwa pohon tersebut telah menjadi incaran suku yang bersangkutan.
Ida Manu Nio
Idi tua manu/membawa moke dan ayam kepada pemilik tanah yang ditumbuhi pohon hebu dan po’o (memasak nasi bambu) dengan ramuan yakni kelapa merah, babi merah, beras merah sebagai persembahan kepada leluhur baik leluhur kita maupun leluhur dari pemilik pohon hebu.
Pebhe telo dan Paga gala ga’e
Pebhe telo dan Pega gala ga’e/Bhuja Kawa adalah proses lanjutan dari proses di atas. Bhuja Kawa akan dipegang oleh orang yang berasal dari sa’o wua ghao dan keluar dari rumah pokok suku yakni Sa’o Peka Pu’u. Hal ini juga merupakan hasil yang dicapai melalui kesepakatan dari dalam anggota suku. Upacara ini ditandai dengan penyembelihan hewan kurban sebelum kelur dari rumah adat dan dagingnya dimakan bersama, adapun hewan kurban yang dibantai adalah babi dan ayam. Pemegang Bhuja Kawa akan keluar dari rumah dan diikuti oleh peserta dari Sa’o Saka/Peka Puu dan Peka Lobo beserta One Woe.
Pebhe tlo/Pega gala Ga’e/Bhuja Kawa adalah ritual pengesahan secara simbolis untuk menandai pohon Hebu (bakal material batang Ngadhu) menjadi milik bagi woe (suku) yang bersangkutan.
Kela Nio
Kela Nio adalah upacara untuk membelah kelapa yng airnya diyakini dapat memberikan kesejukan bagi roh leluhur yang telah diundang kehadirannya ke dalam pohon Ngadhu. Dengan tahapan ini masyarakat budaya Ngadha berkeyakinan bahwa pohon yang akan digunakan dalam pembangunan Ngadhu menjadi tempat yang sejuk dan sebagai wadah hunian yang nyaman bagi roh Yang Maha Kuasa dan leluhur.
Pai Tibo Taki Weki
Adalh suatu upacara khusus untuk menetukan orang yang saka Ngadhu yakni orang yang berperan sebagai ana koda (nakoda) yang mna orang yang terpilih melalui petunjuk ritual tibo ini akan berlaku sebagai penunggang pada saat batang Ngadhu digotong ke dalam kampung. Orang-orang tersebut adalah orang pilihan yangmana dalam pengambilan perannya tidak asal-asalan agar tidak membawa petaka bagi mereka. Mereka yang berperan untuk saka Ngadhu adalah generasi yang memiliki garis lurus dari penghuni Peka/saka pu’u dan penghuni peka/saka lobo. Kriteria orang yang akan saka Ngadhu adalah harus orang berkasta/rang Ga’e atau apabila tidak ada yang orang Ga’e maka akan dimabil dari orang kasta Ga’e Kisa.
Pogo Ngadhu
Pogo ngadhu adalah tahapan upacara untuk pembuatan Ngadhu selanjutnya yaitu untuk penggalian dan penebangan kayu untuk membangun Ngadhu yang telah didapat melalui petunjuk tibo. Penggalian biasanya diawali dengan gong gendang mulai dari tempat berangkat sampai pada tempat pohon Ngadhu akan digali. Adapun cara penggalian harus disertai dengan 3 (tiga) cabang akar dan kayu tersebut harus bercabang dua. Dalam penggalian akan dilakukan penyembelihan hewan kuran yakni babi dan ayam untuk persembahan kepada Yang Maha Kuasa dan leluhur.
Gebhe Pu’u Ngdhu
Setelah pohon Hebu (material pembuat batang Ngadhu) selesai digali maka akan dilakukan acara pembasmian tunas-tunas kayu yang dimana kayunya telah diambil untuk materila Ngadhu yang baru. Pembasmian ini berkaitan dengan kepercayaan orang Ngadha apabila pohon yang telah diambil untuk materila rumah tumbuh (bertunas) maka akan membawa sial bagi ana woe (anggota suku).
Bama Ngaru Ngadhu
Ngaru dipahami sebagai roh yng hidup, hal ini dikaitkan dengan semua pencarian dan pogo Ngadhu yang telah disakralkan sebagai perwujudan atau personifikasi leluhur para anggota suku dari Ngadhu yang akan dibangun karena datangnya pohon Ngadhu dari hutan menuju tempat persiapan akhir pembangunannya dianggap sebagai datangnya leluhur laki-laki yang telah diundang oleh anggota suku lewat berbagai upacara dari setiap tahapan yang telah dilakukan.
Weti Ngadhu
Proses pemahatan (weti) untuk pembuatan ukiran pada batang Ngadhu akan dilakukan setelah tiba di empat yang ditentukan (sebelum masuk kampung).persyaratan dalam pengukiran Ngadhu yakni terdiri dari 3 (tiga) penampang Nay telu Wutu hemo. Lamanya proses pengukiran disesuaikan dengan persyaratan yakni satu hari satu penampang. Penjelasan arti dari motif ukiran yang akan dipahatkan pada Ngadhu adalah sama dengan motif ukiran yang dipahat pada penampang Sa’o (Rumah adat).
Koe Gemo/Hoa Ngadhu
Koe Hoa Ngadhu adalah tahapan lanjutan yaitu menggali guna mempersiapkan lubang untuk mengisi pangkal pohon Ngadhu. Dalam penggalian bentuk lubangnya harus disesuaikan dengan bentuk akarnya.
Bhei Ngadhu Nuka Nua
Bhei Ngadhu adalah upacara menggotong Ngadhu yang telah diukir di luar kampung untuk memasuki kampung. Ngadhu digotong beramai-ramai oleh semua ana woe (anggota suku) yang disaksikan oleh seluruh isi kampung. Di atas batang Ngadhu yang digotong akan ditunggangi oleh 2 (dua) orang yang sesuai dengan petunjuk tibo yang telah dibuat sebelumnya atau orang yang berperan sebagai Saka Ngadhu (Saka Pu’u dan Saka Lobo). Ngadhu yang dipikul/digotong tersebut akan ditaruh di samping bhaga atau tempat akan dibangunnya lambang perempuan.
Pada upacara ini dimeriahkan dengan tari-tarian yang diiringi musik tradisional (Laba Go) dan tarian Soka Ngadhu yang ditutup dengan penyembelihan hewan kuran babi dan ayam untuk persembahan kepada leluhur dan Yang Maha Kuasa.
Mula Ngadhu
Mula/Pusi Ngadhu adalah tahapan untuk memasukan pangkal Ngadhu ke dalam lubang yang telah disiapkan. Penanaman Ngadhu didahului dengan memasukan anjing merah, babi merah, ayam merah dan beras merah ke dalam cabang-cbang lubang yang telah disiapkan, hal ini adalah simbol untuk memelihara kelangengan usaha One woe (anggota suku) yangakan dijaga oleh roh leluhur yang akan dibangun (ngadhu). Pada pangkal batang Ngadhu (Pu’u Ngadhu) ada batu-batu yang akan disusun secara rapi berbentuk lingkaran sebagai simbol persatuan anggota suku (One woe) yng saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Persatuan yang diwujudkan dengan kumpulan batu ini dilukiskan dengan ungkapan adat yang menggambarkan keakraban dan kegotongroyongan yakni Pio Bodha ne’e Sipo, Bopo Bodha ne’e Da Dho’o yang bertujuan untuk mendukung kekuatan Ngadhu. Pada bagian lain yakni tepat di belakang Ngadhu akan ditanam juga satu buah batu yang tingginya mencapai satu meter (yang dinamakan Peo) dan fungsinya untuk menyatukan ujud pada saat penyembelihan hewan kurban. Peo diyakini kan menjadi tujuan dari Ngadhu dan Bhaga yang proses pembangunannya disatukan dengan pembangunan Ngadhu. Upacara Mula Ngadhu akan ditutp dengan penyembelihan hewan kurban babi dan ayam sebagai persembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan leluhur.
Tau Bhaga
Pembuatan Bhaga atau lambang leluhur perempuan milik suku hampir sama dengan pembuatan rumah adat. Perbedaan antara bhaga dengan rumah adat adalah ukuran Bhaga yang lebih kecil dengan ukiran ular sedangkan ukiran lainnya sama dengan ukiran ada rumah adat. Ukiran sawa/ular menunjukan kewibawaan seorang perempuan yang dapat menjadi model dan contoh bagi anggota suku serta kekayaan yang dimiliki sebagai sarana kemakmuran. Proses pembangunannya sama dengan rumah adat dengan bahan-bahannya adalah papan, alang-alang, bambu, ijuk dan Maghi yang menurut fungsinya sama dengan Sa’o. Bhaga tidak menjadi tempat tinggal hanya sese waktu tempat ini (bhaga) digunakan menjadi tempat upacara adat (Ka Kobo Bhaga) sebagai tempat untuk mempersatukan persembahan dan ujud kepada Yang Maha Kuasa.
Woe Hoza
Adalah upacara setelah penanaman Ngadhu sebelum pembuatan atap Ngadhu yakni penyembelihan kerbau sebagai tanda berdirinya Ngadhu (pengganti rupa leluhur laki-laki) di tengah kampung. Woe Hoza ini sebagai pertanda terwujudnya kehadiran leluhur di tengah anggota suku (one woe) dalam wujud Ngadhu.
Tau Ubu Ngadha
Adalah tahapan pembuatan atap Ngadhu sebagai proses paling akhir sebelum upacara Ka Ngadhu. Atap Ngadhu dibuat berbentuk kerucut dengan sudut yang mengarah ke langit yang mana arah sudut ini diyakini sebagai hubungan antara leluhur dan Tuhan yang dalam ungkapan bahasa Bajawa adalah Lobo wi Soi Dewa. Pembuatan atap seperti ini diilhami oleh masyarakat budaya Ngadha bahwa Ngadhu merupakan jembatan perantara hubungan manusia dengan Penguasa Langit dan Bumi. Keyakinan ini terwujud dalam ungkapan bahasa Ngadha Mula Ngadhu Tau Tubo Lizu Kabu Wi Role Nitu Lobo Wi Soi Dewa.
Ka Ngadhu
Ka Ngadhu merupakan upacara atau pesta syukuran puncak karena Ngadhu (pengganti rupa leluhur laki-laki) sudah selesai dibangun.
6.Upacara Reba
Bui Loka
Bui Loka adalah upacara awal menjelang upacara Reba (upacara Tahun Baru Tradisional). Upacara ini biasanya dilakukan oleh setiap woe (suku) pada suatu tempat khusus di luar kampung atau yng dikenal dalam bahasa Ngadha adalah Loka. Dalam acara ini dihadiri oleh seluruh anggota suku (woe) untuk memohon penyertaan Yang Maha Kuasa dan kehadirn leluhur dalam upacara-upacara dalam kehidupan selanjutnya. Istilah dalam bahasa Ngadha Bui loka oja pe’i radhi lewa Dewa wi dhoro dhegha.
Loka merupakan sekumpulan batu yang disakralkan sebagai tempat pemujaan kpada Yng Maha Kuasa (Dewa Zeta Nitu Zale) dan roh-roh leluhur.
Reba Bhaga/Kobhe Dheke Reba
Reba Bhag adalah acara yang dilaksanakan pada malam menjelang Kobe Dheke reba (malam pertama tahun Baru Tradisional), acara ini bertujuan untuk memberikan persembahan dan sesaji kpada monumen pengganti rupa leluhur wanita (Bhaga) yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban ayam atau babi dan dihadiri oleh one woe, sedangkan Kobe Dheke Reba adalah malam pertemuan pertama bagi one woe (anggota suku) berkumpul untuk merayakan upacara tahun Baru Adat (upacara Reba) pada malam pertama ini biasanya dilakukan upacara syukuran pertemuan dan ucapan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa (Dewa Zeta Nitu Zale) atas perlindungan yang dilimpahkan kepada seluruh one woe (anggota suku).
Leza Reba dan Kobe Reba
Leza Reba adalah hari Tahun Baru Adat, pada momen ini biasanya dilakukan tarian masal yakni tarian Sedo Uwi atau O....wi dan Kobe Reba adalah malam tahun baru dimana One Nua (penghuni kampung0 biasanya saling mengundang untuk makan bersama sebagai bentuk silaturahmi antar sesame masyarakat budaya Ngadha.
Kobe Dhoro/Su’i Uwi
Kobe Dhoro atau Kobe Su’i Uwi adalah malam puncak setiap woe untuk menyelenggarakan evaluasi bersama, perencanaan lanjutan untuk tahun yang akan datangdan diakhiri dengan upacara Su’i Uwi yakni penuturan sejarah kemigrasian sambil mengiris ubi (uwi). Malam su’i ini akan ditutup dengan penyembelihan hewan kurban berupa ayam atau babi untuk memberikan persembahan kepada leluhur.
7.Upacara Ka Nua/Ka Lengi/ Ka Watu Lewa dan Ture
Upacara ini meruapakan upacara penghormatan kepada pemimpin kampung yang telah berinisiatif untuk mendirikan kampung (mori tere lengi). Acara ini juga sebagai pengresmian kampung untuk dihuni oleh suku-suku yang akan mendiami suatu kampung. Puncak acara ini adalah pembantain hewan kurban secara besar-besaran sesuai dengan kesepakatan One Nua (penghuni kampung0 yang bersangkutan. Pembuatan sebuah monument megalitik pada kampung ini harus melalui tahapan antara lain :
Meramal dalam rngka untuk mencari tempat atau batu yang akn diangkat dengan membuat Tibo (ramalan tradisional) biasanya tempat pengambilan batu terletak ke arah Wae Bela dan Bena biasa masyarakat menyebut ”Lau wae Ruba ne’e Zeta Rato”.
Pengangkatan batu/pahgho watu. Pengangkatan batu membutuhkan banyak orang
Na’a Ngia
Saa ngaza
Li goo Laba Jai
Gili Ngadhu Bhaga
Pewi Bela
Pada saat upacara ini seorang anak perempuan dari keturunan orang yang terelengi memakai bela (anting-anting) dan laki-laki memakai Wuli kemudian menari mengelilingi Ngadhu dan Bhaga sampai pada batu peringatan inisiator pendirian kampung.
8.Upacara Bercocok Tanam
Upacara yang biasa dilakukan berkitan dengan siklus penanaman padi ladang. Upacara pada proses tradisional masyarakat budaya Ngadha dilakukan pada semua tahapan ykni pembukaan lahn sampai memanen padi.
9.Upacara Ri’i
Upacara yang dilakukan untuk pengangkatn sumpah bersama sebagai larangan untuk mengambil milik orang tanpa sepengetahuan tuannya. Proses upacara ini dihadiri oleh seluruh unsur masyarakat mulai dari pemerintah, para ktua suku maupun warga masyarakat. Upacara ini ditandai dengan penyembelihan hewan kurban kerbau dan babi.
10.Upacara Penyerahan Hak Kebun/Lahan yang dibeli/Gose Wa’i Ngeta/Jura Lange
Upacara yang diselenggarakan untuk mengesahkan proses penjualan dan pembelian lahn seseorang yang berlaku sebagai penjual dan pembeli lahan.upacara ini dihadiri oleh semua saksi terutama para pemilik kebun tetangga serta anggota suku dari penjual dan pembeli. Dalam upacara ini biasanya dilakukan di tempat (lahan) yang dijualbelikan yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban berupa babi dan ayam untuk persembahan serta dimakan bersama.
11.Upacara Pengambilan Tuak yang pertama/Dhoro Solo
Dhoro Solo adalah upacara syukuran pemanenan tuak perdana dari pohon aren. Acara ini bertujuan untuk mengucap syukur kepada Penguasa langit dan bumi (Dewa Zeta Nitu Zale) yang telah memberikan hasil tuak. Pada acara ini biasanya dilakukan penyembelihan hewan kurban untuk dipersembahkan kepada leluhur dan dagingnya dimakan oleh peserta upacara.
12.Upacara Pemulihan (Pembersihan)
Upacara pemulihan terdiri dari beberapa macam sesuai dengan tujuannya :
Upacara Woko Liko Kada
Upacara yang dilakukan untuk pemulihan bagi seorang yang telah membunuh orang dan telah menjalankan hukuman penjara, selain untuk pemulihan dan pembersihan yang dimaksud acara ini juga berfungsi sebagai ritus nasehat baik bagi pelaku maupun bagi sesama yang mengikuti upacara untuk tidak lagi melakukan kesalahan serupa yang dilakukan pelaku dalam ungkapan adat ”Sau ma’e Ngada Bhuja ma’e laji”. Dalam upacara ini biasa dilakukan penyembelihan hewan kurban berupa kerbau dan babi untuk memberi ujud persembahan kepada leluhur dan dagingnya dimakan bersama.
Upacara Rubu Rao
Upacara yang dilakukan untuk emulihan nama baik seseorang yang telah dicemari oleh seseorang, selain untuk pemulihan dan pembersihan yang dimaksud acar ini juga berfungsi sebagai denda bagi pelaku yang mencemari nama baik seseorang dan berperan sebagai ritus nasehat baik bagi pelaku maupun bagi sesam yang mengikuti upacara unuk tidak lagi melakukan kesalahan serupa yang dilakukan pelaku dalam ungkapan adat ”Toke ma’e deke mote ma’e weo”. Dala, upacara ini biasa dilakukan penyembelihan hewan kurban berupa kerbau dan babi yang segala biayanya ditanggung pelaku yang bersangkutan untuk meminta maaf kepada seseorang yang namanya telah dicemari juga untuk memberi ujud persembahan kepada leluhur dan dagingnya dimakan bersama.
Upacara Dhoro Ga’e/Nuka Nua
Upacara yang dilakukan untuk pemulihan seorang perempuan (rang Ga’e) yang telah melakukan kesalahan dalam berpasangan (tidur bersama/ mengambil suami) dengan orang yang bukan dari kalangan rang Ga’e. Upacara ini lebih ditekankan pada fungsinya untuk pembersihan kesalahab yang telah dilakukandan untuk menurunkan kasta (rang) dari kasta ga’e mengikuti kasta/rang suami. Dalam upacara ini biasa dilakukan penyembelihan hewan kurban kerbau dan babi yang segala biayanya ditanggung pelaku yang bersangkutan untuk meminta maaf kepada leluhur dan dagingnya dimakan bersama.
Upacara Sebhe Bhaku dan Basa Nata Rogho
Pacara yang dilakukan untuk pemulihan kesalahn bagi laki-laki dan perempuan yng telah berbuat salah (berzinah) namun kduanya tidak bersedia untuk hidup bersama sebagai suami istri . Untuk jenis kesalahan ini pihak laki-laki dikenaan sangsi adat berupa kerbau atau kuda sesuai dengan peraturan adat yng berlaku di masing-masing kampung untuk dibayarka kepada pihak perempuan yang bersangkutan. Sesudah menjalankan proses pembayaran denda maka bagi pihk laki-laki akan melakukan upacara Sebhe Bhku (pemulihan untuk boleh mengambil/meminang perempuan lain sebagai istri) sedangkan bagi pihak perempuan akan menjalankan upacara Basa nata Rogho sebagai upacara pemulihan untuk boleh menerima laki-laki menjadi suami. Acara ini juga berperan sebagai ritus nasehat baik bagi pelaku aupun bagi sesama yang mengikuti upacara untuk tidak lagi melakukan kesalahan yang dilakukan kedua pelaku yang bersangkutan dalam ungkapan adat ”ma’e pe go beke sese ma’e laga go pa’a bhara’. Dalam upacara ini bisa dilakukan penyembelihan hewan kurban berupa babi oleh keluarga-keluarga bersangkutan di rumah adat masing-masing untuk meminta maaf kepada leluhur atas kesalahan juga untuk memberi ujud persembahan kepada leluhur dan dagingnya dimakan bersama di masing-masing pihak.
Upacara Sewu Ngewu
Sewu Ngewu adalah upacara pemulihan dalam bencana kebakaran kampung. Upacara ini melalui beberapa tahap yakni :
Zoze Api
Upacara yang dilakukan setelah bencana kebakaran kampung yang bertujuan untuk memutuskan hubungan dengan kutukan api.
Kago Te’e Bola
Upacara untuk memasukan barang-barang yang dikeluarkan dari dalam rumah karena takut dan panik pada saat kebakaran. Upacara ini dilakukan oleh orang-orang yang merupakan penghuni rumah tangga dalam kampung yang luput dari bencana kebakarn di masing-masing rumah.
Pa’i Tibo Taki Api
Upacara yang dilakukan oleh pemilik rumah yang terkena musibah kebakaran guna mencari petunjuk ritual tradisional untuk mengetahui sebab-sebab kebakaran.
Sewu Ngewu
Upacara penyembelihan kerbau oleh pemilik rumah yang terkena musibah kebakaran yang bertujuan untuk menyejukan kepanasan yang disebabkan oleh kebakaran yang telah terjadi dan untuk menjalin hubungan kembali dengan leluhur dan yang Maha Kuasa.
13.Upacara Ghoro Wae
Tahapan yang biasa dilakukan dalam pembangunan air minum atau irigsi adalah sebagai berikut :
Teki Mori Watu Tana/Mata Wae
Tahapan untuk meminta ijin kepada tuan tanah dimana lokasi mata air berada guna membangun saluran air minum.
Gose Sau Su Bhuja
Upacara persetujuan antara pihak tuan tanah dan pihak yang meminta ijin, yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban di mata air dan penancapan Gala Ga’e serta Sau Ga’e secara simbolis oleh tuan tanah.
Bama Ngaru
Upacara ini adalah tahapan setelah pemasangan instalasi air minum sampai pada areal di dekat kampung yang bertujusn untuk mengucapkan selamat datang kepada air terlebih perdamaian Penguasa Bumi (Nitu).
Rida Mori wae
Upacara penghargaan kepada tuan tanah yang ditandai dengan pemberian seperangkat pakaian adat lengkap.
Ghoro Wae
Upacara puncak dimana air telah memasuki kampung. Upacara ini bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada leluhur dan penguasa Langit dan Bumi (Dewa Zeta Nitu Zale). Dalam upacara ini biasanya ditandai dengan penyembelihan hewan kurban berupa kerbau dan babi yang dimeriahkan dengan tarian tradisional Jai Laba Go.

Tarian, Pakaian Adat, Alat Musik dan Lagu-lagu Tradisional Etnis Budaya Ngadha
1.Tarian
Tari-tarian tradisional yang sering dilakukan pada upacara-upacar tradisional dan event-event penting pada rumpun budaya Ngada adalah :
Soka
Soka adalah sebuah tarian yang sering dilakukan pada acara-acara adat. Tarian ini dibagi dalam beberapa jenis sesuai dengan tujuan yang dilakukan atau diadaptasikan dengan tujuan upacara. Adapun jenis-jenis soka yaitu :
a.Soka Sa’o
b.Soka Ngadhu
c.Soka bhaga
d.Soka Golo
e.Soka Jura Langa
Teke
Teke adalah jenis taraian dan nyanyian adat yang berisikan pantun-pantun ajaran yang diwariskan dari leluhur yang sering dipentaskan pada tahapan-tahapan tertentu dalam pebuatan rumah adat Ngadha.
Lea Manu
Jenis tarian syukur yang dipentaskan pada acara Ka Sa’o yang diiringi dengan Go Laba.
Wuga Ngusu
Jenis tari perdamaian yang dipentaskan pada saat perdamaian antara dua pihak yang berseteru.
Jai Laba Go
Tari masal yang merupakan tarian yang paling sering dipentaskan pada saat pembuatan Ngadhu, Bhaga, Peo, Ture dan upacara-upacara penting lainnya, selain dipentaskan pada saat upacara-upacara tradisional jai ini juga dipentaskan pada penjemputan tamu-tamu penting.
Sedo/O....wi
Tarian Sedo/o...wi adalah sebuah tarian masal yang sering dipentaskan pada saat upacara Reba (Tahun Baru Adat).
Sago Alo/Kadhi Dhoga
Tarian hiburan yang sering dipentaskan pada event-event tradisional. Tarian ini merupakan tarian yang menguji ketangkasan untuk melompat di antra mainan atau pukulan bambu yang saling menjepit.
2.Pakaian Adat
Pria
Untuk pakaian adat yang dipakai oleh pria terdiri dari ;
a.Boku
Penutup kepala yang berfungsi sebagai mahkota yang melambangkan kejantanan. Boku tersebut terbuat dari kain yang ditenun berwarna coklat tua
b.Maringia
Secarik kain merah/kuning yang diengkapi hiasan yang digunakan sebagai pengikat untuk memperkuat boku pada kepala
c.Lue
Selembar kain yang bermotif kuda atau ayam yang dilipat dan dikenakan menyilang pada punggung laki-laki

d.Sapu
Kain yang bermotif kuda atau ayam dengan warna dasar hitam yang dikenakan sebagai pengganti celana panjang
e.Keru
Ikat pinggang yang ditenun dengan motif kuda atau ayam yang berfungsi sebagai penguat kain.
f.Lega
Lega/tas adat dibagi 2 (dua) jenis yakni :
Lega Lua Rongo/Lega Jara
Tas anyaman yang diberikan hiasan bulu kuda putih atau bulu kambing putih pada bagian sisi penampang luar
Lega Kebi Tuki
Tas anyaman adat yang diberikan hiasan biasa yang tidak terbuat dari bulu kuda atau kambing.
g.Degho
Gelang adat yang terbuat dari gading gajah.
h.Sa’u
Parang atau klewang yang diberi hiasan bulu kuda putih pada bagian gagangnya (rega sau).
i.Wuli
Kalung khusus yang dikenakan pada saat upacara tertentu yang terbuat dari seperangkat kulit kerang laut.
Wanita
Untuk pakaian adat yang dikenakan oleh wanita yaitu :
a.Medo
Hiasan kepala terbuat dari stik bambu yang diberi hiasan bulu kuda putih.
b.Maringia
Hiasan di dahi yang terbuat dari potongan kain dengan ukuran lebar ± 1 cm panjang sesuai kebutuhan dan dihiasi dengan manik-manik atau perak.
c.Rabhe Kobho
Penguat konde atau manik-manik yang berfungsi sebagai hiasan kepala
d.Kasa sese
Sepasang kain kuning dengan lebar ± 3 cm dengan panjang sesuai kebutuhan dan biasa dipakai dengan cara mnyilang pada dada sampai punggung.
e.Lawo
Kain tenun yang berwarna dasar hitam dihiasi dengan motif kuda atau ayam putih atau biru.
f.Butu Bae
Kalung panjang yang terbuat dari manik-manik.
g.Lega
Sama seperti lega yang dipakai oleh laki-laki
h.Degho
Sama seperti yang dikenakan oleh laki-laki namun ukurannya lebih kecil.
i.Lua Manu
Rangkaian bulu ayam yang diikat dengan benang untuk dikenakan pada jari tangan.
j.Tuba
Sejenis hiasang yang terbuat dari kayu atau tongkat yang diberikan asesoris bulu ayam dan bulu kuda putih yang dipakai pada saat menari.
3.Alat Musik
Go
Seperangkat gong (alat musik yang mirip dengan gamelan). Gong terdiri dari 5 (lima) buah yakni wela, Uto, Bheme dan sepasang Ridhu (Go Doa).
Laba
Laba adalah alat musik pasangan dari gong yakni seperangkat gendang yang terdiri dari 3 (tiga) buah yakni Dera dan sepasang Laba Wa’i.
4.Lagu-Lagu Tradisional
Adapun lagu-lagu tradisional yang sering dinyanyikan oleh masyarakat budaya Ngadh diantaranya adalah :
O Ine Mora Ate
Besi Bero
Be’i Benga
Guru Zele Wolo
Bengu rele kaju dan lain-lain


Permainan Rakyat Etnis Budaya Ngadha
Wela Maka
Juru dhongi
Ghoro Aze
Leba Uki
Fedhi Dhara
Jara Haro
Bo Repa
Maka Jara
Ghebhe Zo
Jedho Watu
Joro Kobha
Meo Lele Dheke